Rabu, 20 April 2011

Ushul Fiqih: Bag 5 Sumber Hukum Sekunder


Sumber Hukum Sekunder
3. Ijma (ke-3)
Ijma adalah kesepakatan (konsensus) para mujtahid setelah wafatnya Rasulullah SAW, terhadap suatu hukum syara’ yang bersifat praktis ‘amaly.

Dalil yang menjadi dasar Ijma’ :
Firman Allah dalam QS An Nisa’ [4] : 59
“Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu.”
“Taatilah Allah” merujuk kepada Al-Qur’an.
“Taatilah Rasul “ merujuk kepada sunnah (hadits)
“dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu” merujuk kepada Ijma’ (konsensus) Ulil-Amri.
Hadits Nabi :
Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka baik pula dalam pandangan Allah.”
Umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan.”
Ingatlah, barangsiapa yang ingin menempati surga, maka bergabunglah (ikutilah) jamaah, karena syaitan adalah bersama orang-orang yang menyendiri. Ia akan lebih juah dari dua orang, daripada dari pada dari pada seorang yang menyendiri.”

a.  Ijma’ Sahabat
Khalifah Abu Bakar ketika mendapati masalah yang belum diketahui status hukumnya, maka beliau mengumpulkan fukaha dari kalangan para sahabat dan menanyakan apa ada yang mengetahui hadits Nabi tentang masalah tersebut, bila ada yang menyampaikan hadits Nabi maka Khalifah Abu Bakar memutuskan hukumnya berdasarkan hadits tersebut, tetapi bila tidak ada hadits maka Khalifah Abu Bakar bermusyawarah menentukan keputusan berdasarkan kesepakatan dengan para sahabat.

Khalifah Umar pun mengikuti cara yang dilakukan oleh Abu Bakar. Pada masa dua khalifah pertama yaitu Abu Bakar dan Umar, para sahabat Nabi semuanya masih berada di Kota Mekkah. Ijma’ sahabat pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar inilah yang mutlak dapat dijadikan hujjah dan wajib diikuti oleh seluruh kaum muslimin.

b. Ijma’ Ulama Mujtahid
Para sahabat besar baru bertebaran keluar dari kota Madinah pada saat Khalifah Usman bin Affan dengan tujuan mengajarkan agama pada kota-kota yang telah ditaklukkan oleh kaum muslimin. Pada masing-masing kota yang didiami, para sahabat besar mengajarkan agama sesuai dengan kapasitasnya masing-masing yang akhirnya disetiap kota besar menghasilkan para ulama dan mujtahid dari generasi tabi’in dan tabi’it-tabi’in.

Masing-masing imam mujtahid tidak mengeluarkan pendapat yang sama sekali menyalahi pendapat ulama negerinya, agar tidak dianggap aneh. Lantaran Itu Imam Abu Hanifah menghargai Ijma’ ulama Kufah, begitu pula Imam Malik menghargai ijma’ ulama Madinah.

Tingkatan Ijma’ :
a.  Ijma’ Sharih, jika semua ulama menyatakan kesepakatannya.
b.  Ijma’ Sukuti, jika seorang mujtahid menyampaikan pendapatnya, kemudian pendapatnya tersebut diketahui oleh seluruh ulama yang hidup semasa dan tidak ada seorang ulama pun yang mengingkari pendapatnya, artinya ada juga yang mendiamkannya. Ijma’ sukuti ini masih diperdebatkan apakah dapat dijadikan hujjah, karena diamnya seseorang ulama belum tentu menyatakan kesepakatannya, bisa jadi sedang memikirkannya.


4.    Qaul Sahabi (Perkataan Sahabat Nabi) (ke-4)
Firman Allah dalam QS At-Taubah : 100 :
“Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah.”

  Hadits Nabi :
  “Saya adalah kepercayaan sahabatku, sedang sahabatku adalah kepercayaan sekalian umatku.”
           
Diantara metode ijtihad Imam Abu Hanifah adalah : “Bila ada konsensus pendapat dari sahabat maka saya ambil, bila ada perbedaan pendapat diantara para sahabat, maka saya pilih. Bila ada pendapat dari tabi’in maka saya teliti.”

5.  Qiyas (ke-5)
Qiyas adalah memberikan hukum yang sama kepada sesuatu yang mirip atau serupa dengan yang telah ada nash nya dalam Al-Qur’an atau Hadits.  Contohnya menyamakan hukum segala minuman yang memabukkan dengan hukum khamr (arak).

Dasar kehujjahan Qiyas :
a.  Firman Allah dalam QS An Nisa’ [4] : 59
“Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu. Maka jika kamu berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan RasulNya.”
“Kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya” merujuk kepada Qiyas, maksudnya bandingkanlah (qiyas-kanlah) dengan yang dekat dan serupa dengan yang telah ada pada kitab Allah (Al-Qur’an) dan atau Sunnah Rasul-Nya (Hadits).

b.  Firman Allah dalam QS Al-Baqarah : 179 :
“Dan dalam qisash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu”.
Dalam ayat diatas tampak bahwa illat (sebab) disyariatkannya qishas adalah agar ada jaminan hidup bagi manusia.

c.   Firman Allah dalam QS Al-Maidah : 91 :
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sholat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).”
Dari ayat diatas tampak bahwa illat (sebab) diharamkannya judi dan meminum khamr adalah karena menimbulkan permusuhan dan kebencian, juga karena menghalangi manusia dari mengingat Allah.

d. Hadits – Hadits Nabi :
1.   Dari Umar bin Khatab : “Hari ini aku telah melakukan perkara besar, yakni mencium istriku, sedang aku sedang berpuasa”. Lalu Rasulullah bersabda : ‘Bagaimana menurut pendapatmu andaikata kamu berkumur-kumur padahal kamu sedang berpuasa ?’. ‘Hal itutak mengapa’, jawabku. ‘Maka mengapa (kamu menanyakan) ?’ Jawab Rasulullah”. (HR Ahmad dan Abu Dawud)
Riwayat diatas menunjukkan bahwa Rasulullah meng qiyaskan mencium istri ketika berpuasa dengan berkumur-kumur ketika berpuasa. Keduanya mengandung persamaan illat yaitu mendekati membatalkan tapi belum sampai pada tahap membatalkan.
2.  “Seorang wanita dari qabilah Juhainah menghadap Nabi, seraya ia berkata : “Ya Rasulullah, ibuku telah bernadzar untuk mengerjakan haji, akan tetapi ia tak sempat mengerjakan haji sampai ia meninggal dunia. Apakah saya berkewajiban mengerjakan haji untuknya ?. ‘Benar’, jawab Nabi. “kerjakan haji untuknya. Tahukah kamu andaikata ibumu mempunyai hutang, bukankah kamu yang paling patut melunasinya ? ‘Ya’, jawabnya. Rasulullah berkata : ‘Tunaikan hutang-hutang Allah, sebab hak Allah lebih berhak untuk dipenuhi’ ”. (HR Bukhary dan Nasa’i).
Riwayat diatas menunjukkan Nabi meng qiyaskan nadzar kepada Allah yang belum dipenuhi dengan hutang kepada sesama manusia.

e. Surat Umar bin Khattab kepada Abu Musa Al Asy’ari yang menjabat sebagai gubernur Basrah :
“Lihatlah banyak hal-hal yang serupa dan setara, maka qiyaskanlah hal-hal yang semacam itu”.

Rukun Qiyas ada 4 (empat) yaitu :
1.   Asal, yaitu perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya pada nash Al-Qur’an dan hadits.
2.  Furu’, yaitu cabang yang hukumnya disamakan dengan hukum asal.
3.  Hukum, yaitu hukum yang sudah diketahui pada asal.
4.  Illat, yaitu sebab yang sama yang menyebabkan hukum asal dapat disamakan juga pada  hukum furu’.

Syarat-syarat qiyas :
a.   Hukum asal tidak dinasakh.
b.   Hukum asal jelas nashnya.
c.    Hukum asal dapat diterapkan pada qiyas.
d.    Hukum cabang tidak boleh mendahului hukum asal.
e.    Mempunyai illat yang sama.
f.     Hukum cabang sama dengan hukum asal.
g.    Ada illat ada hukum, tidak ada illat tidak ada hukum.
h.    Illat tidak boleh bertentangan atau menyalahi syara’.

Macam-macam Qiyas :
1.    Qiyas Aula / Awlawi / Qath’i
Yaitu qiyas hukum yang diberikan kepada asal lebih patut diberikan kepada cabang.
Contoh, Nabi bersabda :
“Kedua mata itu tali pengikat lubang dubur, maka apabila mata telah tidur terlepaslah tali”.
Kita pahamkan bahwa gila, pingsan, mabuk dan segala yang menghilangkan akal lebih patut membatalkan wudhu.

2.   Qiyas Musawi
Yaitu mengqiyaskan sesuatu kepada suatu yang bersamaan kedua-duanya yang patut menerima hukum tersebut.
Contohnya dalam QS An-Nisa’ : 25 :
“Maka atas mereka (budak-budak wanita) separoh hukuman dari yang dikenakan atas wanita-wanita yang merdeka”.
Kita pahamkan bahwa menurut irama pembicaraan hukuman dera  budak laki-laki kita qiyaskan dengan hukum budak wanita yaitu separoh dari hukuman dera laki-laki yang merdeka.

3.   Qiyas Adna / Adwan
Yaitu meng-qiyas-kan sesuatu yang kurang patut menerima hukum yang diberikan kepada sesuatu yang memang patut menerima hukum itu.
Misalnya kita mengqiyaskan haramnya nabiz (rendaman lain dari anggur) kepada khamr (arak anggur) karena illatnya sama sama memabukkan.

4.    Qiyas Dalalah
Yaitu qiyas yang menunjuki kepada hukum, berdasar dalil illat atau mengumpulkan asal dengan cabang berdasar kepada dalil illat.
Misalnya mengqiyaskan ahrta anak kecil dalam soal wajib dizakati kepada harta orang dewasa atas dasar illatnya sama-sama harta yang berkembang.

5.    Qiyas Illah
Yaitu qiyas yang tegas illatnya yang mengumpulkan asal dengan cabang dan illat itulah yang menyebabkan hukum pada asal.

6.   Qiyas fi Ma’nal Ashli
Yaitu qiyas yang tidak tegas illatnya yang mengumpulkan asal dengan cabang.

Misalnya mengqiyaskan kadar hukuman dera buda laki-laki kepada budak wanita dengan illat sama-sama budak.

7.   Qiyas Syabah
Yaitu qiyas yang menjadi washaf (sebab illat) yang mengumpulkan antara cabang dengan asal hanyalah penyerupaan atau cabang yang pulang pergi dua asal, yaitu yang dapat diserupakan dengan dua asal, lalu dihubungkan dengan yang banyak persamaannya.

Misalnya, seorang budak ketika merusakkan sesuatu dalam membayar ganti rugi, berubah status antara sebagai manusia karena ia anak keturunan Adam dan binatang, karena ia dipandang sebagai harta yang dapat diperjual-belikan dan diwakafkan.

8.   Qiyas Jali
Qiyas yang illatnya baik dinashkan atau tidak, namun perbedaan pemisah antara asal dan furu’ diyakini tidak berbekas.
Misalnya, mengqiyaskan haramnya mencaci, memukul orang tua kepada keharaman mengucapkan ‘cis’, dengan illat sama-sama menyakitkan bagi keduanya.

9.   Qiyas Khafi
Qiyas yang illatnya dipetik dari hukum asal.
Misalnya, mengqiyaskan pembunuhan dengan benda berat dengan benda tajam.

10.    Qiyas Sabri wattaqsim
Qiyas yang diketahui illatnya setelah dilakukan penelitian yang mendalam.
Misalnya, mengqiyaskan jagung kepada gandum dengan illat sama-sama makanan pokok yang mengenyangkan dan sama sama ditimbang.

11.    Qiyas Thardi
Qiyas yang dikumpulkan antara asal dengan cabang oleh suatu sebab yang adanya hukum beserta wujudnya sebab itu, bila sebab hilang maka hukumnya juga hilang.

12.   Qiyas Aksi
Tidak ada hukum bila tidak ada illat atau menetapkan lawan hukum sesuatu bagi yang sepertinya karena keduanya itu berlawanan dengan tentang illatnya.
Contohnya, hadits Nabi :
“Dan pada kemaluan seseorang kamu ada sedekah. Para Sahabat bertanya : ‘Apakah kami memuaskan syahwat dan memperoleh pahala ? Jawab Nabi : ‘Bagaimana pendapatmu jika dia meletakkan syahwatnya pada yang haram, adakah dia berdosa ?, demikianlah apabila ia meletakkan pada yang halal, ada pahala baginya”. (HR Muslim).

13.   Qiyas Ikhlati wal Munasabati
Qiyas yang menetapkan illat berdasarkan munasabah, yakni kemaslahatan memelihara dasar maksud.
a.       Qiyas Muatstsir
Qiyas yang illatnya mengumpulkan antara asal dengan cabang dinashkan dengan terang atau dengan isyarat  atau dengan ijma’.
Misalnya firman Allah QS An Nur : 27 :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum minta ijin dan memberi salam kepada penghuninya”.
Sehubungan dengan ayat ini, maka Rasululah bersabda : “Ijin dilakukan semata-ata untuk kepentingan (keselamatan) mata”.

b.       Qiyas bekas sebab
Misalnya dibenarkan menjama’ shalat dimasa hujan. Tidak ada keterangan bahwa hujan itu menjadi sebab, akan tetapi ada keterangan bahwa safar menjadi sebab bolehnya jama’. Maka dipahamkan bahwa sebab disini adalah hujan.

14.   Qiyas Mulaim
Qiyas yang jenis sebabnya memberi bekas pada jenis hukum.
Misalnya, wanita yang ber haid tidak perlu mengqadha shalatnya, karena menimbulkan kesukaran. Kesukaran ini tidak ada keterangannya dari nash. Akan tetapi ada keterangan dari syara’ bahwa kesukaran itu meringankan hukum.

15.   Qiyas Munasib Gharib
Qiyas yang dibina atas illat yang tidak tegas syara’ membolehkan atau menolaknya.

Misalnya, wanita yang ditalak tiga saat suami menjelang mati dapat menerima warisan karena kita lawan maksudnya dengan mengqiyaskan kepada pembunuhan agar cepat mendapat warisan, maka si pembunuh tidak mendapat warisan. 

Tidak ada komentar: