Selasa, 19 April 2011

Pencatatan Utang-piutang

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian saling memberi utang untuk suatu masa tertentu, tuliskanlah utang itu dan hendaklah ada orang ketiga yang menuliskannya dengan adil dan janganlah seseorang yang menulis enggan untuk diminta menu­lis sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, tetapi hendaknya ia mau menulis dan orang yang punya barang supaya mendiktekannya.” (QS. Al-Baqarah ()2);(282))


Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Nabi saw. datang ke Madinah dan penduduk Madinah sudah terbiasa melakukan utang-piutang buah-buahan selama satu tahun atau dua tahun. Nabi saw. bersabda: ‘Barang siapa yang utang buah, hendaklah ia menakarnya dengan jelas dan menimbangnya dengan jelas dan batas tempo utangnya jelas.’” (HR. Bukhari dan Muslim)

Penjelasan:
Ayat dan Hadits tersebut menerangkan bahwa orang yang melakukan utang-piutang hendaklah mencatatnya dengan jelas. Jika yang diutangkan berupa bahan yang dapat ditakar atau ditimbang, hendaklah barang tersebut ditakar dan ditimbang dengan jelas dan dijelaskan pula tempo pembayarannya secara tegas. Jika utang-piutangnya tidak ditulis, hendaklah hal itu dipersaksi­kan oleh orang ketiga.

Hukum mencatat utang atau mempersaksikannya kepada orang ketiga adalah sunnah. Oleh karena itu, hendaklah cacat-mencatat utang dan mempersaksikan ini dilakukan dengan kejujuran dan kesungguhan hati agar tidak menimbulkan perselisihan di kemudian hari. Orang-orang yang melakukan utang-piutang tidak boleh dikuasai oleh perasaan malu diketahui orang. Akan tetapi, hendaklah benar-benar takut kepada Allah sehingga lebih baik utang-piutangnya dicatat dengan jelas atau dipersaksikan kepada orang ketiga untuk menjaga agar tidak timbul fitnah di kemudian hari. Sekalipun orang-orang yang berutang dikenal jujur dan taat dalam membayarnya, hendaklah tetap dilakukan pencatatan secara jelas untuk menjadi bukti di kemudian hari jika terjadi perselisihan mengenai jumlahnya. Demikian anjuran ini ditekankan sebab boleh jadi karena bisikan setan yang kuat kepada diri yang berutang, timbul niat kurang baik dalam dirinya yang dapat merugikan orang yang memberi utang.

Tegasnya, Islam sangat menganjurkan kepada orang yang melakukan utang piutang untuk mencatat atau mempersaksikan hal ini kepada orang ketiga. Tujuan pencatatan atau penyaksian ini adalah agar tidak timbul perselisihan atau fitnah di kemudian hari.

Wallahu 'alam bis showwab
_____________________

Tidak ada komentar: