Selasa, 19 April 2011

Berhaji sebelum melunasi hutang?

Apakah boleh saya berhaji sebelum melunasi hutang-hutangku yang cukup banyak? Perlu diketahui bahwa pemilik hutang tidak melarangku untuk berhaji, bagaimana yang terbaik?

Jawaban:
Perlu diketahui terlebih dahulu, persoalan hutang sangat penting. Seseorang tidak boleh berhutang kecuali sangat membutuhkan. Karena terkadang hutang bisa menjadi penghalang seorang mukmin dari surga, sampaipun yang mati syahid. 


Hal ini disebutkan dalam hadits, ada seseorang datang kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, lalu berkata, “Bagaimana menurut Anda, jika aku terbunuh di jalan Allah dalam kondisi sabar, berharap pahala dan maju terus tidak kabur, apakah Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahanku?” Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam menjawab, “Ya.” Namun ketika orang tersebut berbalik, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam memanggilnya atau memerintahkan untuk dipanggilkan dia. Lalu Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bertanya, “Apa yang kamu katakan tadi?” Lalu orang tersebut mengulangi pertanyaannya, dan Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam menjawab, “Ya, kacuali hutang, begitulah yang dikatakan Jibril.” (HR. Muslim) 

Imam al-Nawawi rahimahullaah berkata, “Adapun sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, kecuali hutang, mengandung peringatan terhadap hak-hak sesama manusia. Sedangkan jihad dan kesyahidan serta yang lainnya termasuk amal-amal kebajikan yang tidak bisa menggugurkan hak-hak sesama. Dan hanya bisa menggugurkan hak-hak Allah Ta’ala. (Syarah Shahih Muslim, Imam al-Nawawi: 5/28)

Maksud dari hutang di sini, apa saja yang terkait dengan tanggungannya dari hak-hak kaum muslimin. Karena orang yang berhutang tidaklah lebih pantas mendapatkan ancaman dan tuntutan daripada perampok, pencopet, penghianat, dan pencuri.” (Tuhfah al-Ahwadzi: 5/203)

Dan disebutkan dalam hadits lain dari Muhammad bin Jahsy, dia berkata, “Kami pernah duduk di tempat jenazah bersama Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam, lalu beliau mengangkat pandangannya ke langit lalu meletakkan telapak tangannya di dahinya sambil bersabda, “Maha Suci Allah, betapa keras apa yang diturunkan Allah dalam urusan utang-piutang?” Kami diam dan meninggalkan beliau. Keesokan harinya kami bertanya, “Ya Rasulullah, perkara keras apa yang telah turun?” Beliau menjawab, “Dalam urusan utang-piutang. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya seorang laki-laki dibunuh di jalan Allah kemudian ia dihidupkan lalu dibunuh kemudian dihidupkan lalu dibunuh (lagi) sedang ia memiliki hutang, sungguh ia tak akan masuk Surga sampai dibayarkan untuknya utang tersebut.”( HR. Al-Nasa’i dan al-Hakim, beliau menshahihkannya. Imam al-Dzahabi menyepakatinya. Sementara syaikh al-Albani menghassankannya dalam Ahkam al-Janaiz, hal. 107)

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ

Siapa yang mengambil (berhutang) harta manusia dan ingin membayarnya maka Allah akan melunaskannya. Sementara siapa yang berhutang dengan keinginan menelantarkannya (tidak membayar), maka Allah akan benar-benar membinasakannya.” (HR. Al-Bukhari)

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ

Jiwa seorang mukmin tergantung kepada hutangnya sehingga dibayarkan.” (HR. Ahmad dan al-Tirmidzi, beliau mengatakan hadits hasan. Syaikh al-Albani juga menghassankannya dalam Shahih Sunan Ibnu Majah 2/53)

Maka bagi orang yang berhutang hendaknya berniat membayarnya sehingga kalau tidak sampai memiliki sesuatu untuk membayarnya, dan dia mati dengan niat ini, sesungguhnya Alah akan membayarkannya sebagaimana yang disebutkan dalam haidts Maimunah radhiyallaahu 'anha, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدَّانُ دَيْنًا يَعْلَمُ اللَّهُ مِنْهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَدَاءَهُ إِلَّا أَدَّاهُ اللَّهُ عَنْهُ فِي الدُّنْيَا

Tidaklah seorang muslim berhutang dengan satu piutang yang Allah mengetahui bahwa dia ingin membayarnya kecuali Allah akan membayarkannya di dunia.” (HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim, beliau menshahihkannya. Imam Dzahabi menyepakatinya sedangkan Syaikh al-Albani menshahihkannya dalam shahih Sunan Ibnu Majah: 2/51)

 Dari Ibnu Umar radhiyallaahu 'anhu, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
Utang itu ada dua macam, barangsiapa yang mati meninggalkan utang, sedangkan ia berniat akan membayarnya, maka saya yang akan mengurusnya, dan barangsiapa yang mati, sedangkan ia tidak berniat akan membayarnya, maka pembayarannya akan diambil dari kebaikannya, karena di waktu itu tidak ada emas dan perak.” (HR. Thabrani dalam al-Kabir dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Ahkam al-Janaiz hl. 5). 

Beberapa hadits tersebu mengandung ancaman keras menggampangkan urusan hutang.
Sedangkan pada dasarnya berhaji itu wajib atas orang yang mampu berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” (QS. Ali Imran: 97) 

Makna istitha’ah adalah kemampuan untuk ke sana. Maka siapa yang mendapati jalan melaksanakan haji dan tidak ada yang menghalangi –seperti karena jauhnya jarak, kondisi lemah, ancaman musuh, sediktinya air atau perbekalan di perjalanan, lemah melakukan perjalanan-, maka dia wajib melaksanakan haji.  Sedangkan siapa yang merasa tidak mampu dengan sebab-sebab di atas atau sebab lainnya seperti tidak memili nafkah yang cukup untuk keluarga yang ditinggalkan atau tidak ada mahram bagi wanita, maka terkategori sebagai orang tidak mampu.

Dari ulasan di atas, pada dasarnya seorang muslim seharusnya menyelesaikan hutangnya sebelum berangkat haji.

Terdapat beberapa kriteria dampak hutang terhadap kewajibkan haji, sebagai berikut:
Pertama, hutangnya yang harus segera dibayarkan, sedangkan pada saat itu dia tidak memiliki harta yang cukup untuk membayar hutang dan berangkat haji. Maka dia harus mendahulukan hutangnya daripada haji. Karena sangkutan dengan hamba lebih dikedepankan daripada sangkutan Allah Ta’ala.

Kedua, hutang dengan cara angsuran beberapa tahun, maka tidak menghalangi pergi haji. Misalnya, orang membeli rumah secara kredit dengan jangka waktu sepuluh tahun, dia membayar setiap bulannya sekian. Maka hutang semacam ini tidak mempengaruhi kewajiban melaksanakan haji.

Ketiga, jika ada seseorang yang membiayai hajinya dan menanggung nafkah keluarganya, maka tidak mengapa melaksanakan haji walaupun punya banyak hutang.

Keempat, Jika orang yang berhutang minta izin kepada orang yang menghutanginya lalu dia mengizinkannya pergi haji, maka tidak mengapa dia melaksanakan ibadah haji. Dan makna izinnya adalah menerima permintaan penangguhan hutang walaupun tanggungan hutang masih membebaninya. Dan jika meninggal dalam kondisi ini maka dia dalam bahaya yang besar sebagaimana telah disebutkan dalam beberapa hadits di depan.

Wallahu 'alam bis shawwab
______________________

Tidak ada komentar: