Sabtu, 21 Mei 2011

Muqaddimah

Ilmu Tashawuf (Tasawuf) adalah ilmu yang sudah tua usianya, yaitu semenjak Nabi Adam as, sapmpai Nabi Muhammad Saw. hingga sahabat-sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum, bahkan sampai pula kepada masa kita sekarang ini. Tasawuf masih tetap tak akan ada habis-habisnya dibicarakan orang.
Ilmu Tasawuf adalah bagian/cabang dari ilmu Islam, seperti ilmu tauhid, fiqih. Yang bertujuan membersihkan hati agar tidak sombong, takabur, ria, dengki, dendam dan lain-lain penyakit hati. Sumber ilmu ini adalah al-Qur’an dan Hadits.
Kata Tashawuf, menurut bahasa berasala dari kata Shuf (baju bulu). Ini dikarenakan sebagian besar pengikutnya pada zaman dahulu mengenakan baju yang terbuat dari bulu. Kebiasaan mereka yang selalu mengenakan pakaian seperti itu, menyalahi adat kebanyakan manusia yang selalu berpakaian serba indah. Pengikut tashawwuf tidak mempunyai pakaian yang serba indah.
Sedangkan menurut istilah, tashawwuf mempunyai bermacam-macam arti, yaitu:
1.       Berpegang teguh pada adab yang didasarkan kepada syara’ baik lahir maupun batin.
2.       Kesempurnaan manusia dengan Islam, iman, dan ihsan.
3.      Berserah diri sepenuhnya kepada allah, atas segela kehendak dan cita-citanya
4.      Berpegang pada kefakiran dan iftiqar (merendahkan diri), tahqiq (membenarkan) suatu pemberian dan itsar (pengutamaan terhadap orang lain), dan meninggalkan segala sesuatu yang menghalanginya untuk sampai kepada Allah.
Adapun definisi tashawwuf menurut imam Al- Junaid, yaitu :
a.      Mengenal Allah, sehingga antaramu dengan Allah tidak ada perantara
b.      Melakukan akhlak yang baik menurut sunnah Rasulullah dan meninggalkan semua akhlak yang rendah/buruk
c.       Melepas hawa nafsu menurut sekehendak Allah
d.      Merasa tiada memiliki apapun, juga tidak dimiliki siapapun kecuali Allah
Shuffi, juga berasal dari kata shafaa, yang berarti bersih, jernih. Dinamakan Salik, bagi siapa yang berjalan di jalan Allah, dengan cara-cara shufi, karena bersih hatinya, suci batinnya dan bersih lahir selain daripada Allah (terlepas dari maksud keduniaan).
Imam ibnu Khaldun, seorang ulama’ terkenal menyebutkan bahwa sesungguhnya guru dalam ilmu tasawuf tidaklah lazim dalam ajaran tarikat. Padahal ilmu ini merupakan dasar dalam beramal, karena itu ambilah dasar tersebut dari kitab-kitab Imam Al-Ghazali.
Dalam muqaddimahnya, Ibnu Khaldun menerangkan:
“Ilmu (tasawuf) ini adalah salah satu dari ilmu-ilmu syar’iyah yang ada dalam agama Islam. Asalnya, cara (tarikat) mereka memang – pada sisi tokoh-tokoh besar dari para sahabat dan tabi’in ialah tekun dalam ibadah, bulat hati kepada Allah swt., berpaling dari godaan dunia, zuhud (tidak cenderung) kepada kemewahan harta dan pengaruh duniawi, dan menyendiri di tempat yang sunyi untuk beribadah. Hal demikian ini memang sudah umum di kalangan para sahabat dan ulama salaf. Setelah kecenderungan kemewahan duniawi meraja lela barulah muncullah orang-orang yang tekun beribadah yang dikenal dengan nama tasawuf”.
Syaikhul Islam menerangkan tentang perbedaan antara syariat, hakikat, dan tarikat, dalam bukunya yang berjudul ”Al-Futuhathul Ilahiyyah”. Adalah bahwa syariat memerintahkan kepada hamba-Nya, agar membiasakan melakukan ibadah secara tetap. Dan hakikat bermaksud melihat ketuhanan dalam mata hati, sehingga dikatakan menyimpang dari jalan Allah. Hal itu adalah rahasia yang didasarkan kepada makna yang tiada batas (had) dan tiada arah (jihah) bagi-Nya. Sedangkan tarikat, adalah menjalankan segala amal baik. Syariat mempunyai batas, misalnya shalat subuh dua rakaat, dzuhur empat rakaat. Syariat juga mempunyai sifat-sifat tertentu, misalnya fardhu dan sunnah, ditentukan waktunya atau tidak.
Antara syariat, hakikat, dan tarikat mempunyi hubungan dengan sama lainnya, karena menuju jalan Allah itu harus berserah diri lahir maupun batin, yang lahir berupa syariat dan tarikat, dan yang batin adalah hakikat. Hakikat musirrun (terkandung) dalam syariat dan tarikat. Maka dari kombinasi ketiga itu, jelaslah tuntunan yang diberikan kepada hambanya terhadap Tuannya.
Adapun untuk mencapai jalan kepada Allah, kita wajib melewati empat jalan (perkara), yaitu:
1.        Jalan Syariat
Syariat tergantung pada amal badani dari semua hukum, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dzikir dan lain-lainnya.

2.       Jalan Tarikat
Tarikat adalah mengarahkan maksud (tujuan) kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan ilmu dan amal. Dikatakan pula bahwa tarikat merupakan perbuatan nafsaniyah yang tergantung pada sir (rahasiah) dan ruh dengan melakukan taubat, wara’, muraqabah, tawakkal, ridha, taslim, memperbaiki akhlak, menyadari akan kekurangan dan cela yang ada pada dirinya.

3.       Jalan Hakikat
Hakikat adalah natijah dari syariat dan tarikat, memandang Allah dengan cahaya hati yang diletakan Allah, bahwa hati memandang tiada yang menggerakan dan mendiamkan melainkan Allah.

4.      Jalan Ma’rifat
Yaitu mengenal Ketuhanan dari jamal-Nya, Jalal-Nya dengan kasyaf yang tidak memerlukan dalil, yaitu mengenal Allah dengan musyahadah selama-lamanya.

Abul Hasan Asy-Syadzili ra. Berkata: perjalan untuk menjadi sufi terdiri atas 5 hal:
1.       Bertakwa kepada Allah baik lahir taupun batin dalam sendiri atau dimuka umum. Untuk melaksanakan ini harus berlaku wara’ (menjauh dari semua yang makruh, syubhat dan haram), dia tetap istiqomah dalam menta’ati semua perintah, yakni tetap tabah tidak berubah.

2.       Mengikuti sunnah Rasulullah dalam semua kata dan perbuatan, dengan begitu ia harus selalu waspada dan melakukan budi pekerti yang baik (luhur).

3.      Mengabaikan semua mahluk dan tidak menghiraukan apakah mereka suka atau benci dengan perbuatannya, iya hanya memandang kepada Allah dengan melakukan perbuatan yang di ridhai-Nya.

4.      Rela (ridha) menurut hukum Allah, baik berat maupun ringan. Untuk melakukan ini harus rela (ridha) pada Allah dengan qona’ah (menerima apa adanya) dan tawakkal (berserah diri).

5.      Kembali pada Allah dalam suka maupun duka, yaitu dengan bersyukur kepada Allah dalam suka dan berlindung kepada-Nya dalam duka.

Dan semua ini berpokok pada lima (5):
1.       Semangat yang tinggi, sehingga dengan begitu akan naik tingkat (derajat)nya.
2.       Berhati-hati dari yang haram atau menjaga kehormatan, yaitu dengan meninggalkan larangan yang diharamkan Allah, dengan begitu Allah akan menjaga kehormatannya.
3.      Bersunguh-sunguh dalam berkhidmah (mengabdi) sebagai hamba, sehingga tercapai tujuannya, yaitu kebesaran dan kemuliaan disis Allah.
4.      Melaksanakan kewajiban. Siapa yang melaksanakan tugas kewajibannya dengan baik, maka bahagia hidupnya.
5.      Menghargai (menjungjung tinggi) nikmat, yaitu dengan mensyukurinya, dengan begitu akan selalu menerima tambahan nikmat lebih besar.
Tujuan pokok ilmu tashawwuf ialah, menuju kepada Allah untuk mencapai ma’rifat dalam arti kata yang sebenarnya, terbuka hijab antara hamba dengan-Nya.

Ref: < Muqaddimah> Musa Turoichan Al-Qudsy, Shufi & Waliyullah (Terjemaah Syarah Al-Hikam), Apel Mulia, Syrabaya 2004.  

Tidak ada komentar: