Jumat, 22 April 2011

Mustahik Zakat

Allah SWT telah menentukan orang-orang yang berhak menerima zakat di dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya shadaqah (zakat-zakat) itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (QS At-Taubah [9]: 60)

Di dalam hadits riwayat Abu Daud dari Ziyad bin Al-Harits Al-Shada’i, Rasulullah saw bersabda,
“Sesungguhnya Allah SWT tidak berwasiat dengan hukum nabi dan juga tidak dengan hukum lainnya sampai Dia memberikan hukum di dalamnya. Maka, Allah membagi zakat kepada delapan bagian. Apabila kamu termasuk salah satu dari bagian tersebut, maka aku berikan hakmu.” (HR Abu Dawud)


Delapan kelompok (asnaf) dari ayat dan hadits di atas, yaitu terperinci sebagai berikut:
1. Fakir
2. Miskin
3. Amil zakat
4. Mualaf
5. Budak (riqab)
6. Orang yang berutang (gharimiin)
7. Untuk jalan Allah (fisabilillah)
8. Musafir (ibnussabil)


A. Penjelasan Mustahik (Asnaf) Menurut Fikih Zakat Kontemporer

1. Fakir
Fakir adalah orang yang penghasilannya tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok (primer) sesuai dengan kebiasaan masyarakat dan wilayah tertentu. Menurut pandangan mayoritas (jumhur) ulama fikih, fakir adalah orang yang tidak memiliki harta dan penghasilan yang halal, atau yang mempunyai harta yang kurang dari nishab zakat dan kondisinya lebih buruk daripada orang miskin.

Orang fakir berhak mendapat zakat sesuai kebutuhan pokoknya selama setahun, karena zakat berulang setiap tahun. Patokan kebutuhan pokok yang akan dipenuhi adalah berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan pokok lainnya dalam batas-batas kewajaran, tanpa berlebih-lebihan atau terlalu irit.

Di antara pihak yang dapat menerima zakat dari kuota fakir; apabila telah memenuhi syarat “membutuhkan”, yaitu tidak mempunyai pemasukan atau harta, tidak mempunyai keluarga yang menanggung kebutuhannya, adalah: anak yatim, anak pungut, janda, orang tua renta, jompo, orang sakit, orang cacat jasmani, orang yang berpemasukan rendah, pelajar, para pengangguran, tahanan, orang-orang yang kehilangan keluarga, dan tawanan, sesuai dengan syarat-syarat yang dijelaskan dalam aturan penyaluran zakat dan dana kebajikan. (lihat: Mustahiq Zakat; Lembaga Zakat Internasional, Kuwait, ayat 6 berikut alinea-alineanya).
 
2. Miskin
Miskin adalah orang-orang yang memerlukan, yang tidak dapat menutupi kebutuhan pokoknya sesuai dengan kebiasaan yang berlaku. Miskin menurut mayoritas ulama adalah orang yang tidak memiliki harta dan tidak mempunyai pencarian yang layak untuk memenuhi kebutuhannya. Menurut Imam Abu Hanifah, miskin adalah orang yang tidak memiliki sesuatu. Menurut mazhab Hanafi dan Maliki, keadaan mereka lebih buruk dari orang fakir, sedangkan menurut mazhab Syafii dan Hambali, keadaan mereka lebih baik dari orang fakir.
Bagi mereka berlaku hukum yang berkenaan dengan mereka yang berhak menerima zakat.

3. Amil Zakat
Yang dimaksud dengan amil zakat adalah semua pihak yang bertindak mengerjakan yang berkaitan dengan pengumpulan, penyimpanan, penjagaan, pencatatan, dan penyaluran atau distribusi harta zakat. Mereka diangkat oleh pemerintah dan memperoleh izin darinya atau dipilih oleh instansi pemerintah yang berwenang atau oleh masyarakat Islam untuk memungut dan membagikan serta tugas lain yang berhubungan dengan zakat, seperti penyadaran atau penyuluhan masyarakat tentang hukum zakat, menerangkan sifat-sifat pemilik harta yang terkena kewajiban membayar zakat dan mereka yang mustahik, mengalihkan, menyimpan dan menjaga serta menginvestasikan harta zakat sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam rekomendasi pertama Seminar Masalah Zakat Kontemporer Internasional ke-3, di Kuwait.

Lembaga-lembaga dan panitia-panitia pengurus zakat yang ada pada zaman sekarang ini adalah bentuk kontemporer bagi lembaga yang berwenang mengurus zakat yang ditetapkan dalam syariat Islam. Oleh karena itu, petugas (amil) yang bekerja di lembaga tersebut harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan.

Tugas-tugas yang dipercayakan kepada amil zakat ada yang bersifat pemberian kuasa (karena berhubungan dengan tugas pokok dan kepemimpinan) yang harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh para ulama fikih, antara lain muslim, laki-laki, jujur, dan mengetahui hukum zakat. Ada tugas-tugas sekunder lain yang boleh diserahkan kepada orang yang hanya memenuhi sebagian syarat-syarat di atas, yaitu akuntansi, penyimpanan, dan perawatan aset yang dimiliki lembaga pengelola zakat, pengetahuan tentang ilmu fikih zakat, dan lain-lain.
Para amil zakat berhak mendapat bagian zakat dari kuota amil yang diberikan oleh pihak yang mengangkat mereka, dengan catatan bagian tersebut tidak melebihi dari upah yang pantas, walaupun mereka orang fakir. Dengan penekanan supaya total gaji para amil dan biaya administrasi itu tidak lebih dari seperdelapan zakat (13,5%).

Perlu diperhatikan, tidak diperkenankan mengangkat pegawai lebih dari keperluan. Sebaiknya gaji para petugas ditetapkan dan diambil dari anggaran pemerintah, sehingga uang zakat dapat disalurkan kepada mustahik lain.

Para amil zakat tidak diperkenankan menerima sogokan, hadiah atau hibah, baik dalam bentuk uang ataupun barang.

Memperlengkapi gedung dan administrasi suatu badan zakat dengan segala peralatan yang diperlukan bila tidak dapat diperoleh dari kas pemerintah, hibah atau sumbangan lain, maka dapat diambil dari kuota amil sekedarnya dengan catatan bahwa sarana tersebut harus berhubungan langsung dengan pengumpulan, penyimpanan dan penyaluran zakat atau berhubungan dengan peningkatan jumlah zakat.

Instansi yang mengangkat dan mengeluarkan surat izin beroperasi suatu badan zakat berkewajiban melaksanakan pengawasan untuk meneladani sunah Nabi saw dalam melakukan tugas kontrol terhadap para amil zakat. Seorang amil zakat harus jujur dan bertanggung jawab terhadap harta zakat yang ada di tangannya dan bertanggung jawab mengganti kerusakan yang terjadi akibat kecerobohan dan kelalaiannya.

Para petugas zakat seharusnya mempunyai etika keislaman secara umum. Misalnya, penyantun dan ramah kepada para wajib zakat (muzaki) dan selalu mendoakan mereka. Begitu juga terhadap para mustahik, mereka mesti dapat menjelaskan kepentingan zakat dalam menciptakan solidaritas sosial. Selain itu, agar menyalurkan zakat sesegera mungkin kepada para mustahik.

4. Mualaf
Pihak ini merupakan salah satu mustahik yang delapan yang legalitasnya masih tetap berlaku sampai sekarang, belum dinasakh. Pendapat ini adalah pendapat yang diadopsi mayoritas ulama fikih (jumhur). Sehingga kekayaan kaum mualaf tidak menghalangi keberhakan mereka menerima zakat.

Di antara kelompok masyarakat yang berhak menerima zakat dari kuota ini adalah sebagai berikut:
Orang-orang yang dirayu untuk memeluk Islam: sebagai pendekatan terhadap hati orang yang diharapkan akan masuk Islam atau ke-Islaman orang yang berpengaruh untuk kepentingan Islam dan umat Islam.

Orang-orang yang dirayu untuk membela umat Islam: Dengan memersuasikan hati para pemimpin dan kepala negara yang berpengaruh, baik personal maupun lembaga, dengan tujuan ikut bersedia memperbaiki kondisi imigran warga minoritas muslim dan membela kepentingan mereka. Atau, untuk menarik hati para pemikir dan ilmuwan demi memperoleh dukungan dan pembelaan mereka dalam permasalahan kaum muslimin. Misalnya, membantu orang-orang non-muslim korban bencana alam, jika bantuan dari harta zakat itu dapat meluruskan pandangan mereka terhadap Islam dan kaum muslimin.

Orang-orang yang baru masuk Islam kurang dari satu tahun yang masih memerlukan bantuan dalam beradaptasi dengan kondisi baru mereka, meskipun tidak berupa pemberian nafkah, atau dengan mendirikan lembaga keilmuan dan sosial yang akan melindungi dan memantapkan hati mereka dalam memeluk Islam serta yang akan menciptakan lingkungan yang serasi dengan kehidupan baru mereka, baik moril maupun materiil.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menyalurkan zakat kepada pihak ini adalah sebagai berikut:
Terealisasikannya maksud dan kebijaksanaan hukum Islam, sehingga tercapainya tujuan yang didambakan syariat Islam.

Menyalurkan harta zakat kepada pihak ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sehingga tidak menimbulkan mudarat terhadap para mustahik yang lain dan tidak berlebihan kecuali kalau memang dibutuhkan.

Ditekankan agar dalam menyalurkan kuota ini dilakukan dengan penuh kehati-hatian untuk menghindari dampak negatif yang tidak dapat diterima dalam pandangan syariat atau menghindari reaksi yang kurang baik dalam diri kaum mualaf dan menjauhkan perkara lain yang dapat menimbulkan mudarat terhadap Islam dan kaum muslimin.

Disarankan agar menggunakan sarana-sarana dan fasilitas modern agar lebih efektif dan dapat tercapai tujuan dari penyaluran harta zakat ini.

5. Hamba yang Disuruh Menebus Dirinya
Mengingat golongan ini sekarang tidak ada lagi, maka kuota zakat mereka dialihkan ke golongan mustahik lain menurut pendapat mayoritas ulama fikih (jumhur). Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa golongan ini masih ada, yaitu para tentara muslim yang menjadi tawanan.

6. Orang yang Berutang (Gharimiin):
Orang berutang yang berhak menerima kuota zakat golongan ini ialah:
Orang yang berutang untuk kepentingan pribadi yang tidak bisa dihindarkan, dengan syarat-syarat sebagai berikut:
·         Utang itu tidak timbul karena kemaksiatan.
·         Utang itu melilit pelakunya.
·         Si pengutang sudah tidak sanggup lagi melunasi utangnya.
·         Utang itu sudah jatuh tempo, atau sudah harus dilunasi ketika zakat itu diberikan kepada si pengutang.

Orang-orang yang berutang untuk kepentingan sosial, seperti yang berutang untuk mendamaikan antara pihak yang bertikai dengan memikul biaya diyat (denda kriminal) atau biaya barang-barang yang dirusak. Orang seperti ini berhak menerima zakat, walaupun mereka orang kaya yang mampu melunasi utangnya.

Orang-orang yang berutang karena menjamin utang orang lain, dimana yang menjamin dan yang dijamin keduanya berada dalam kondisi kesulitan keuangan.

Orang yang berutang untuk pembayaran diyat (denda) karena pembunuhan tidak sengaja, apabila keluarganya (aqilah) benar-benar tidak mampu membayar denda tersebut, begitu pula kas negara.

Pembayaran diyat itu dapat diserahkan langsung kepada wali si terbunuh. Adapun diyat pembunuhan yang disengaja tidak boleh dibayar dari dana zakat. Namun demikian, tidak boleh mempermudah pembayaran diyat dari dana zakat, karena banyaknya kasus pembunuhan tidak sengaja, sebab para mustahik zakat yang lain juga sangat membutuhkannya. Untuk itu, dianjurkan membuat kotak-kotak dana sosial untuk meringankan beban orang yang menanggung diyat seperti ini, misalnya karean kecelakaan lalu lintas dan sebagainya. Juga sugesti membuat kotak-kotak dana sosial keluarga atau profesi untuk menyerasikan sistem aqilah (sanak keluarga yang ikut menanggung diyat pembunuhan tidak sengaja) sesuai dengan tuntutan zaman.

7. Fisabilillah
Yang dimaksud dengan mustahik fisabilillah adalah orang berjuang di jalan Allah dalam pengertian luas sesuai dengan yang ditetapkan oleh para ulama fikih. Intinya adalah melindungi dan memelihara agama serta meninggikan kalimat tauhid, seperti berperang, berdakwah, berusaha menerapkan hukum Islam, menolak fitnah-fitnah yang ditimbulkan oleh musuh-musuh Islam, membendung arus pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan Islam. Dengan demikian, pengertian jihad tidak terbatas pada aktivitas kemiliteran saja.

Kuota zakat untuk golongan ini disalurkan kepada para mujahidin, dai sukarelawan, serta pihak-pihak lain yang mengurusi aktivitas jihad dan dakwah, seperti berupa berbagai macam peralatan perang dan perangkat dakwah berikut seluruh nafkah yang diperlukan para mujahid dan dai.

Termasuk dalam pengertian fisabilillah adalah hal-hal sebagai berikut:
Membiayai gerakan kemiliteran yang bertujuan mengangkat panji Islam dan melawan serangan yang dilancarkan terhadap negara-negara Islam.
Membantu berbagai kegiatan dan usaha, baik yang dilakukan oleh individu maupun jemaah yang bertujuan mengaplikasikan hukum Islam di berbagai negara dan menghadapi rencana-rencana jahat musuh yang berusaha menyingkirkan syariat Islam dari pemerintahan.
Membiayai pusat-pusat dakwah Islam yang dikelola oleh tokoh Islam yang ikhlas dan jujur di berbagai negara non-muslim yang bertujuan menyebarkan Islam dengan berbagai cara yang legal yang sesuai dengan tuntutan zaman. Seperti, mesjid-mesjid yang didirikan di negeri non-muslim yang berfungsi sebagai basis dakwah Islam.

Membiayai usaha-usaha serius untuk memperkuat posisi minoritas muslim di negeri yang dikuasai oleh non-muslim yang sedang menghadapi rencana-rencana jahat pengikisan akidah mereka, seperti kristenisasi. 

8. Ibnu Sabil
Orang yang dalam perjalanan (ibnu sabil) adalah orang asing yang tidak memiliki biaya untuk kembali ke tanah airnya. Golongan ini diberi zakat dengan syarat-syarat sebagai berikut:
Sedang dalam perjalanan di luar lingkungan negeri tempat tinggalnya. Jika masih di lingkungan negeri tempat tinggalnya, lalu ia dalam keadaan membutuhkan, maka ia dianggap sebagai fakir atau miskin.

Perjalanan tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam, sehingga pemberian zakat itu tidak menjadi bantuan untuk berbuat maksiat.
Pada saat itu ia tidak memiliki biaya untuk kembali ke negerinya, meskipun di negerinya sebagai orang kaya. Jika ia mempunyai piutang yang belum jatuh tempo, atau pada orang lain yang tidak diketahui keberadaannya, atau pada seseorang yang dalam kesulitan keuangan, atau pada orang yang mengingkari utangnya, maka semua itu tidak menghalanginya berhak menerima zakat.

B. Penjelasan Mustahik (Asnaf) Menurut Ulama Salaf dari Empat Mazhab

1. Mazhab Syafi’i
Fakir:
Orang yang tidak mempunyai harta dan usaha; atau mempunyai usaha atau harta yang kurang dari seperdua kecukupannya, dan tidak ada orang yang berkewajiban memberi belanjanya.

Miskin:
Orang yang mempunyai harta atau usaha sebanyak seperdua kecukupannya atau lebih, tetapi tidak sampai mencukupi. Yang dimaksud dengan kecukupan, cukup menurut umur biasa 62 tahu, maka mencukupi dalam masa tersebut dinamakan “kaya”, ia tidak boleh diberi zakat, ini dinamakan kaya dengan harta. Adapun kaya dengan usaha, seperti orang yang mempunyai penghasilan yang tertentu tiap-tiap hari atau tiap bulan, maka kecukupannya dihitung saban hari atau saban bulan. Apabila pada suatu hari penghasilannya tidak mencukupi, hari itu dia boleh menerima zakat. Adanya rumah yang ditinggali, perkakas rumah tangga, pakaian dan lain-lain yang perlu dipakai tiap-tiap hari tidak terhitung sebagai kekayaan, berarti tidak menghalanginya dari keadaan yang tergolong fakir atau miskin.

‘Amil:
Semua orang yang bekerja mengurus zakat, sedang dia tidak mendapat upah selain dari zakat itu.

Mualaf:
(a). Orang yang baru masuk Islam, sedang imannya belum kuat. (b). Orang Islam yang berpengaruh dalam kaumnya yang masih kafir, dan kita berharap, kalau dia diberi zakat, orang lain dari kaumnya akan masuk Islam. (c). Orang Islam yang berpengaruh terhadap kafir kalau dia diberi zakat, kita akan terpelihara dari kejahatan kafir yang di bawah pengaruhnya. (d). Orang yang menolak kejahatan orang yang anti zakat.

Hamba :
Hamba yang dijanjikan oleh tuannya bahwa dia boleh menebus dirinya, hamba itu diberi zakat sekadar untuk memerdekakan dirinya.

Berutang :
(a). Orang yang berutang karena mendamaikan antara dua orang/pihak yang berselisih. (b). Orang yang berutang untuk kepentingan dirinya sendiri pada keperluan yang mubah atau yang tidak mubah, tetapi dia sudah tobat. (c). Orang yang berutang karena menjamin utang orang lain, sedang dia dan yang dijaminnya itu tidak dapat membayar utang itu. Dari pembagian ini, maka yang poin b dan c diberi zakat kalau dia tidak kuasa membayar utangnya, tetapi yang poin a diberi, sekalipun dia kaya.

Fisabilillah:
Tentara yang membantu dengan kehendaknya sendiri, sedang dai tidak mendapat gaji dan tidak pula mendapat bahagian dari harta yang disediakan untuk keperluan peperangan dalam barisan balatentara. Orang ini diberi zakat, meskipun dia kaya, sebanyak keperluannya untuk masuk ke medan perang, seperti belanja, membeli senjata, kuda, dan alat peperangan lainnya.

2. Mazhab Hanafi
Fakir:
Orang yang mempunyai harta kurang dari senishab atau mempunyai senishab atau lebih, tetapi habis dengan hajat (keperluannya)

Miskin:
Orang yang tidak mempunyai sesuatu pun.

‘Amil:
Orang yang diangkat untuk mengambil dan mengurus zakat.

Mualaf:
Mereka tidak diberi zakat lagi, sejak masa Khalifah Abu Bakar As-Shidiq.

Hamba:
Hamba yang telah dijanjikan oleh tuannya bahwa dia boleh menebus (memerdekakan) dirinya dengan uang atau harta lain.

Berutang:
Orang yang mempunyai utang, sedang hitungan hartanya di luar utang, tidak cukup senishab, dia diberi zakat untuk membayar utangnya.

Fisabilillah:
Balatentara untuk berperang pada jalan Allah.

Musafir:
Orang yang dalam perjalanan, yang putus perhubungan dengan hartanya, orang ini diberi zakat.
3. Mazhab Hanbali
Fakir: Orang yang tidak mempunyai harta, atau mempunyai harta kurang dari seperdua keperluannya.

Miskin: Yang mempunyai harta seperdua keperluannya atau lebih, tetapi tidak mencukupi.

‘Amil: Pengurus zakat, dia diberi zakat sekadar upah pekerjaannya (sepadan dengan upah pekerjaannya).
Mualaf: Orang yang mempunyai pengaruh di sekelilingnya sedang ada harapan ia akan masuk Islam atau ditakuti kejahatannya, atau orang Islam yang ada harapan imannya akan bertambah teguh atau ada harapan orang lain akan Islam karena pengaruhnya.

Hamba: Hamba yang telah dijanjikan oleh tuannya boleh menebus dirinya dengan uang yang telah ditentukan oleh tuannya itu, ia diberi zakat sekadar penebus dirinya.

Berutang: (a). Orang yang berutang untuk mendamaikan orang lain yang berselisih. (b). Orang yang berutang untuk dirinya sendiri pada pekerjaan yang mubah atau haram, tetapi dia sudah tobat. Keduanya diberi zakat sekadar melunasi utangnya.

Fisabilillah : Balatentara yang tidak mendapat gaji dari pimpinan (pemerintah).

Musafir: Orang yang keputusan belanja dalam perjalanan yang halal (yang dibolehkan). Musafir diberi sekadar cukup ongkos buat pulangnya.

4. Mazhab Maliki
Fakir: Orang yang mempunyai harta, sedang hartanya tidak mencukupi untuk keperluannya dalam masa satu tahun, orang yang mencukupi dari penghasilan yang tertentu tidak diberi zakat; orang yang punya penghasilan tidak mencukupi diberi zakat sekadar mencukupi.

Miskin: Orang yang tidak mempunyai sesuatu pun.

‘Amil: Pengurus zakat, penulis, pembagi, penasihat, dan sebagainya, yang bekerja untuk kepentingan zakat. Syarat menjadi ‘amil, harus adil dan mengetahui segala hukum yang bersangkutan dengan zakat.

Mualaf: Sebagian mengatakan, orang kafir yang ada harapan untuk masuk agama Islam, sebagian lain mengatakan, orang Islam yang baru memeluk agama Islam.

Hamba: Hama muslim yang dibeli dengan uang penghasilan zakat dan dimerdekakan.

Berutang: orang yang berutang sedang hartanya tidak mencukupi untuk membayar utangnya, dibayar utangnya dengan zakat, kalau dia berutang bukan untuk sesuatu yang fasad (jahat).

Fisabilillah : Balatentara dan mata-mata. Juga harus untuk membeli senjata atau kuda atau untuk keperluan peperangan yang lain pada jalan Allah.

Musafir: Orang yang dalam perjalanan, sedang ia hajat kepada sokongan untuk ongkos pulang ke negerinya, dengan syarat keadaan perjalanannya bukan maksiat.


Tanbih:
Nampak di atas, pendapat ulama salaf (klasik) dari empat mazhab menafsirkan fisabilillah dari ayat surah At-Taubah ayat 60 bahwa bermakna pokok kepada balatentara. Sebab, dalam penafsiran mereka baru hanya mengartikan makna fisabilillah, secara umum, dengan salah satu maknanya yang banyak. Mungkin, mereka menganggap bahwa makna itulah yang terpenting atau mendasar, sehingga pemaknaannya hanya dibatasi pada perkara balatentara dalam peperangan.

Ibnu Atsir memaknai fisabilillah, yakni semua amal kebaikan yang dimaksudkan mendekatkan diri atau beribadah kepada Allah, bukan hanya sebatas kepada peperangan dan bukan pula menunjukkan makna jelas bahwa maknanya adalah peperangan. Sebab, tidak ada nash Al-Qur`an atau hadits bahwa makna fisabilillah hanya berarti pembelanjaan untuk peperangan.

Di dalam kaidah usul fiqh, ditetapkan bahwa kata-kata umum itu wajib diartikan menurut umumnya selama tidak ada dalil untuk memperkecil (mengkhususkannya). Dan, di sini tidak ada dalil untuk menyempitkan atau mengecilkannya itu. Jadi, harus tetap berarti umum meliputi semua kebaikan yang diridhai Allah.

‘Alim Al-Ghulayaini mengatakan, memberikan sedekah pada jalan Allah, meliputi semua usaha kebaikan untuk kemaslahatan umum atau untuk menghindarkan segala kejahatan, kesulitan umum, seperti persediaan perlengkapan pertahanan, membangun madrasah, dan sebagainya yang bermanfaat dan kebaikannya berguna untuk umat Islam.

Muhammad Rasyid Ridha berpendapat, sesungguhnya yang dimaksud fisabilillah di sini adalah beberapa kemaslahatan muslimin, umumnya yang menambah kekuatan agama Islam dan negaranya, bukan untuk perorangan. Yang paling penting pada masa sekarang ini, persediaan untuk propaganda penyiaran Islam dengan jalan mengirimkan mubalig-mubalig ke negeri-negeri non-Islam, sebagai organisasi yang teratur, seperti yang dilakukan oleh pemeluk agama lain di negeri Islam untuk menyiarkan agama mereka. 

C. Orang yang Tidak Berhak Menerima Zakat
Untuk lebih memperjelas kaidah penerapan hukum zakat terhadap pos-pos pembagian zakat, selain orang-orang yang berhak menerima zakat seperti di atas, maka perlu dijelaskan pula orang-orang yang tidak berhak menerima zakat. Yaitu sebagai berikut:

1. Orang yang kaya dengan harta atau kaya dengan usaha dan penghasilan.
Rasulullah saw bersabda,
“Tidak halal mengambil sedekah (zakat) bagi orang kaya dan orang yang mempunyai kekuatan tenaga.” (HR lima orang ahli hadits, kecuali Nasai dan Ibnu Majah)

Sebagian ulama mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan kaya (ghaniy) ialah orang yang mempunyai harta atau usaha yang mencukupi untuk penghidupannya sendiri serta orang yang dalam tanggungannya sehari-hari, baik ia mempunyai senishab maupun kurang atau lebih. Sebagaimana hadits Rasulullah saw:
“Barangsiapa meminta-minta, sedang ia mempunyai kekayaan, maka seolah-olah ia memperbesar siksaan neraka atas dirinya.” Yang mendengar bertanya, “Apakah kaya itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang kaya ialah orang yang cukup untuk dimakannya sehari-hari itu (cukup untuk dimakan tengah hari dan untuk dimakan malam.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Hiban) 

Juga, ada yang mengatakan bahwa kaya itu adalah orang yang memiliki harta, sekalipun jumlahnya hanya senishab. 

2. Hamba sahaya, karena ia masih mendapat nafkah atau tanggungan dari tuannya.

3. Keturunan Rasulullah saw.
Rasulullah saw bersabda,
“Sesungguhnya tidak halal bagi kami (ahlul bait) mengambil sedekah (zakat).” (HR Muslim)

4. Orang yang dalam tanggungan yang berzakat.
Artinya, muzaki tidak boleh berzakat kepada orang yang dalam tanggungannya itu, apabila pemberian tersebut didasarkan atas dasar kuota fakir atau miskin, karena ia mendapat nafkah yang mencukupi. Akan tetapi, apabila atas dasar kuota lain, seperti karena amil zakat, berutang atau fisabilillah, maka dibolehkan. Atau juga, apabila mereka tidak mendapati nafkah wajib yang mencukupi.

5. Kafir, orang yang bukan Islam.
Rasulullah saw bersabda, “Zakat itu diambil dari orang kaya, dan diberikan kepada orang fakir di antara mereka (umat Islam).” (HR Jamaah ahli Hadis).

Kedua,
Kaidah Penyaluran Zakat
Bagi pihak-pihak yang telah ditunjuk dan memiliki kewenangan dalam pengelolaan zakat (BAZ; LAZ; BAZIS; amil zakat), hendaknya memperhatikan kaidah-kaidah berikut: 

Kaidah pokok penyaluran zakat.
Allah SWT telah menentukan mustahik zakat di dalam firman-Nya dalam surah At-Taubah ayat 60. Atas dasar ini, pengelola zakat tidak diperkenankan menyalurkan hasil pemungutan zakat kepada pihak lain di luar mustahik yang delapan di atas. Di sini, terdapat sebuah kaidah umum, bahwa pengelola zakat dalam melakukan pengalokasian, mereka harus mempertimbangkan kemaslahatan umat Islam semampunya. Dalam kaitan ini, pengelola zakat menghadapi beberapa masalah yang perlu dijelaskan, yaitu bagaimana mendistribusikan zakat kepada mustahik yang delapan?

Dalam hal ini, para ulama ahli fikih telah membuat beberapa kaidah yang dapat membantu pengelola zakat dalam menyalurkan zakat, di antaranya adalah sebagai berikut: 

A. Alokasi atas dasar kecukupan dan keperluan.
Sebagian ulama fikih berpendapat bahwa pengalokasian zakat kepada mustahik yang delapan haruslah berdasarkan tingkat kecukupan dan keperluannya masing-masing. Dengan menerapkan kaidah ini, maka akan terdapat surplus pada harta zakat, seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, dan Umar bin Abdul Aziz. Jika hal itu terjadi maka didistribusikan kembali, sehingga dapat mewujudkan kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya. Atau, mungkin juga akan mengalami defisit (kekurangan), dimana pada saat itu, pengelola boleh menarik pungutan tambahan dari orang-orang yang kaya dengan syarat tertentu sebagai berikut:

1. Kebutuhan yang sangat mendesak di samping tidak adanya sumber lain.
2. Mendistribusikan pungutan tambahan tersebut dengan cara yang adil.
3. Harus disalurkan demi kemaslahatan umat Islam.
4. Mendapat restu dari tokoh-tokoh masyarakat Islam. 

B. Berdasarkan harta zakat yang terkumpul.
Sebagian ulama fikih berpendapat, harta zakat yang terkumpul itu dialokasikan kepada mustahik yang delapan sesuai dengan kondisi masing-masing. Kaidah ini akan mengakibatkan masing-masing mustahik tidak menerima zakat yang dapat mencukupi kebutuhannya dan menjadi wewenang pemerintah dalam mempertimbangkan mustahik mana saja yang lebih berhak daripada yang lain. Setiap kaidah yang disimpulkan dari sumber syariat Islam ini dapat diterapkan tergantung pada pendapatan zakat dan kondisi yang stabil.

C. Penentuan Volume Yang Diterima Mustahik
Dalam masalah ini, terdapat beberapa pendapat ulama fikih sebagai berikut:

Untuk masing-masing golongan mustahik zakat dialokasikan sebesar seperdelapan (1/8 atau 12,5%) dari total harta zakat yang terkumpul. Jika dana yang telah dialokasikan bagi suatu golongan itu tidak mencukupi, maka dapat diambil dari sisa dana yang dialokasikan untuk golongan mustahik lain. Apabila tidak ada juga, maka diambil dari sumber lain dari kas negara atau dengan cara mewajibkan pajak baru untuk menutupi kekurangan itu atas mereka yang kaya sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam syariat Islam.

Bagi setiap golongan mustahik zakat dialokasikan dana sesuai dengan kebutuhannya tanpa terikat dengan seperdelapannya. Apabila harta zakat yang terkumpul itu tidak mencukupi, maka diambil dari sumber lain dari kas negara atau dengan cara mewajibkan pungutan baru atas harta orang-orang kaya untuk menutupi kekurangan itu dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syariat Islam.

Ketiga
Hukum-hukum dari Model Baru Distribusi Zakat
1. Hukum menggunakan harta zakat untuk membeli alat dan sarana bekerja bagi kaum fakir miskin.

Sebagian kaum fakir miskin adalah orang-orang yang bekerja pada suatu profesi tertentu atau mempunyai bakat produksi tertentu, tetapi mereka tidak memiliki alat atau sarana produksi atau profesi tersebut. Para ulama fikih membolehkan pemberian zakat kepada mereka untuk pembelian alat dan sarana bekerja yang keuntungannya dapat memenuhi kebutuhannya. Dalam kitab Al-Majmu’ karya Imam Nawawi disebutkan “Penjahit, tukang kayu, tukang bangunan, tukang jagal hewan, atau ahli-ahli produksi dan bekerja lainnya diberi zakat untuk membeli alat produksinya atau bagian dalam produksinya yang dapat mencukupi hidupnya selamanya.”

Di antara operasional kontemporer, kondisi ini adalah:
Pembelian alat bekerja bagi perempuan-perempuan fakir miskin dan mereka yang tidak bisa keluar rumah yang memungkinkan mereka untuk bekerja di dalam rumah. Dengan cara ini, bisa menjadi kekuatan yang produktif.

Pembelian alat bekerja dan alat produksi sederhana bagi para pemuda yang miskin dan menganggur untuk merubah mereka menjadi kekuatan yang produktif dalam sistem pinjaman (Al-Qard Al-Hasan) sebagai ganti dari pinjaman riba dan pinjaman yang mengandung subhat yang diberikan oleh pihak-pihak asing berupa dana pembangunan masyarakat dan yang sejenisnya.

Pembelian alat bekerja dan produksi bagi kaum cacat yang miskin dan melatih mereka keterampilan dan pekerjaan tertentu. Demikian juga halnya dengan para pengungsi, tahanan, dan buangan.

Salah satu pengaruh ekonomi terpenting dari pembiayaan untuk pembelian alat-alat bekerja dari zakat adalah memindahkan mereka dari sumber daya yang menganggur menjadi kekuatan ekonomi produktif yang beberapa waktu kemudian akan beralih menjadi pembayar zakat.

2. Hukum menggunakan zakat untuk membebaskan hutang kaum buruh.

Termasuk dalam kategori gharimiin adalah orang yang terlilit hutang dengan syarat penyebab hutang tersebut disyaratkan (diperbolehkan) atau dia bertaubat dengan sungguh-sungguh. Dasar dari hal ini adalah hadis riwayat Makhriq Al-Hilal:
“Saya menanggung beban berat (hutang), maka saya datang kepada Rasulullah saw. Lalu, beliau bersabda, “Lakukanlah wahai Qubaishah, sampai datang kepada kita shadaqah (zakat) dan kami perintahkan zakat itu untukmu.”

Di antara penerapan zakat kontemporer terhadap pos gharimiin adalah:
Para ahli kebaikan yang beraktivitas di dalam bidang pelayanan sosial umum dan dakwah, yang mana aktivitas tersebut mengharuskan dia menanggung hutang. Mereka bisa mendapatkan zakat.
Kaum buruh dan pekerja yang tertimpa musibah atau krisis yang mengharuskan mereka berhutang yang nyaris mengeluarkan mereka dari lingkaran aktivitas ekonomi, yang tentu saja hal itu sangat menyusahkan dan membahayakan diri mereka, membahayakan para penghutang dan berpengaruh buruk terhadap ekonomi bangsa secara umum. Karena itu, membebaskan mereka dari itu semua dari sebagian harta zakat berarti merealisasikan manfaat-manfaat ekonomi dan membuat mereka tidak berhubungan dengan riba.

Para ulama fikih telah menentukan beberapa syarat bagi mereka yang diberi zakat dalam pos gharimiin, di antaranya yang terpenting adalah:
Orang tersebut membutuhkan uang untuk membayar hutangnya.
Orang tersebut berhutang dalam perkara ketaatan atau dalam perkara mubah, kecuali jika bertaubat yang sebenar-benarnya.
Hutang tersebut telah jatuh tempo.
Hutang tersebut adalah hutang yang bisa ditahan.

3. Hukum menggunakan zakat dalam pembiayaan proyek produksi.

Sejumlah ahli fikih membolehkan pembangunan proyek dengan menggunakan harta zakat dan hasil/labanya diberikan kepada mereka (mustahik zakat). Mereka tidak memiliki hak untuk menjual dan memindahkan kepemilikan proyek tersebut kepada pihak lain, sehingga keberadaan proyek tersebut mirip wakaf. Penggunaan zakat untuk proyek produksi ini dari segi ekonomi dan sosial merealisasikan perubahan kelompok masyarakat miskin dan menganggur menjadi kelompok produktif, sebagaimana ia ikut andil dalam mengatasi problem pengangguran, anak jalanan, kriminalitas dan semua bentuk kerusakan ekonomi dan sosial yang tersebar di mana-mana.

Majelis Fiqh Al-Islami yang berada di bawah Munadhamah Al-Mu’tamar Al-Islami telah mengeluarkan ketetapan tentang bolehnya investasi zakat. Di antara bunyi ketetapan tersebut adalah:
“Dari segi dasar hukum dibolehkannya menggunakan harta zakat dalam proyek-proyek investasi yang berakhir dengan pemberian kepemilikannya kepada orang yang berhak menerima zakat dan proyek tersebut ikut pada pihak yang bertanggung jawab dalam pengumpulan dan pembagian zakat dengan syarat proyek tersebut siap untuk memenuhi kebutuhan mendadak atau jangka pendek bagi mereka yang berhak menerima zakat, serta terpenuhinya jaminan secukupnya untuk menjauhkan diri dari kerugian.”

Dalam setiap kondisi di atas diharuskan adanya studi kelayakan yang sempurna, yang dalam ilmu ekonomi dikenal dengan studi kelayakan bisnis sebelum terjun ke dalam pembangunan dan pembiayaan proyek-proyek zakat, agar harta yang ditanamkan tidak terbuang sia-sia karena mengalami kerugian. Beberapa badan zakat di negara-negara Islam telah melakukan pembangunan. Misalnya, proyek-proyek ini, terutama di Afrika dan negara-negara Islam yang miskin.

Para ulama fikih kontemporer telah meletakkan beberapa kaidah dan batasan syar’i bagi investasi zakat, di antaranya yang terpenting adalah:
Proyek investasi tersebut harus mendorong risalah zakat dan merupakan salah satu cara atau metode dakwahnya.

Organisasi dan administrasi pengelola proyek-proyek tersebut harus berpegang pada ajaran-ajaran Islam dalam setiap aktivitas lainnya. Misalnya, tidak bermuamalah dengan riba dan harta kotor lainnya serta tidak mendukung musuh-musuh agama dan kaum perusak.
Berkeadilan dalam pembagian investasi dan labanya.

Proyek tersebut telah disetujui berdasarkan studi kelayakan yang objektif.

Proyek tersebut memilih orang-orang berkualitas, amanah, dan berakhlak baik.
Harus dibangun politik investasi yang jelas untuk menguatkan ekonomi kaum fakir miskin dan merealisasikan maslahat para penerima zakat
Orang-orang yang mempunyai kapasitas keilmuan yang mencukupi. Dan operasional dari para lainnya sesuai dengan prioritas Islam. mustahik atau dari para ahli harus diikutsertakan dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek tersebut.

Organisasi pengelola zakat harus menjadi wakil para mustahik dalam investasi zakat pada hal-hal yang dimampui.

Manfaat langsung dari hasil investasi zakat tersebut harus diarahkan para mustahik zakat.

Dalam pemilihan proyek-proyek investasi tersebut harus dijaga prioritas-prioritas syariah.

Harus menjaga keragaman dalam pemberian untuk membekali masyarakat dalam tuntutannya yang bersifat materi, pemikiran, dan ruhiyah.

Investasi tersebut tidak boleh membahayakan atau berakibat buruk bagi maslahat umum umat Islam.

4. Hukum menggunakan zakat dalam dakwah Islamiyah.

Dakwah menyeru kepada Allah SWT adalah keharusan syariah dan kebutuhan manusia untuk membersihkan mereka dari kerusakan yang tampak di daratan, di lautan, dan di mana saja. Allah SWT telah memerintahkan hal itu kepada kita dengan firman-Nya:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali-'Imran [3]: 104)

Dan, Rasulullah saw bersabda,
“Barangsiapa melihat kemungkaran maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Jika dia tidak mampu maka dengan lisannya. Dan, jika dia tidak mampu maka dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim)

Dewasa ini, musuh-musuh Islam memiliki lembaga-lembaga dan kelompok-kelompok misionaris yang tidak mungkin dibendung dengan cara sendiri-sendiri (individual), tetapi harus dilawan melalui lembaga dan kelompok pula (sistem organisir). Keharusan ini derajatnya menjadi wajib, karena kaidah mengatakan, “maa laa yatimul wajib illa bihi fahuwa waajibun” (sesuatu, yang mana hal yang wajib tidak bisa dijalankan atau sempurna kecuali dengannya, maka hal tersebut (hukumnya) wajib). Karena itu, dakwah ke jalan Allah kepada semua manusia dan menghilangkan rintangannya adalah wajib dalam bentuk jamaah atau secara terorganisir. Dari sinilah, muncul banyak organisasi yang tujuan utamanya adalah dakwah.

Muncul beberapa pertanyaan tentang kemungkinan mengarahkan harta zakat kepada organisasi-organisasi tersebut untuk membantu mereka dalam mengemban risalahnya yang disyari’atkan.

Para ulama fikih zakat telah mendiskusikan hal ini secara terperinci pada Muktamar Internasional yang diadakan di Senegal pada tahun 1415 H./1995 M. Di antara tema yang diangkat pada muktamar tersebut adalah peran zakat dalam dakwah Islamiyah. Muktamar tersebut menetapkan wajibnya peran zakat dalam dakwah, yang di antara dalil yang dijadikan landasan pada masalah ini adalah:
Wajibnya dakwah ke jalan Allah SWT sebagaimana terdapat dalam Al-Qur`an, hadits, dan kesepakatan ulama (ijma’).

Pos fisabilillah dalam zakat memungkinkan untuk mencakup aktivitas menolong agama Allah SWT, jalan dan syariatnya yang suci serta memelihara kemaslahatan umum umat Islam yang dengannya perkara agama dan negara bisa tegak.

Menghadang laju misionaris – Kristen; Yahudi; dll—yang dilakukan di negara-negara Afrika, Sudan, dan Indonesia. Mereka menggunakan bantuan-bantuan Sembako dan yang semisalnya untuk diberikan kepada fakir miskin agar mereka meninggalkan agama Islam dan berpindah ke agama mereka.

Menghadapi peperangan, pengekangan, pembunuhan, penawanan umat Islam, perusakan kehormatan perempuan muslimah dan pengusiran mereka dari tempat tinggal, kampung halaman, dan tanah air mereka serta merampas harta mereka sebagaimana yang terjadi belakangan ini di Chechnya, Palestina, Kosova, Bosnia Herzegovina, dan di banyak negara Afrika.

Tujuan-tujuan di atas, masuk ke dalam kategori jihad Islami yang tidak terbatas hanya pada jihad dengan jiwa saja, tetapi mencakup jihad dengan harta dan ucapan pengajaran. Masuk ke dalam kategori ini hal-hal berikut:
Pembangunan pusat pendidikan atau pelatihan dai di jalan Allah.
Percetakan dan penyebaran buku-buku Islam, begitu juga majalah dan surat kabar yang mengutamakan mengangkat problematika umat Islam.
Pembangunan pusat-pusat pemeliharaan masyarakat, sekolah-sekolah, dan rumah sakit bagi minoritas umat Islam yang hidup di negara non-muslim.

Pembiayaan untuk pengiriman misi-misi pendidikan yang akan kembali ke negara-negara Islam untuk mendidik mereka ilmu-ilmu agama.
Berikut beberapa pendapat ulama dan ahli fikih yang membolehkan pengeluaran zakat untuk pembiayaan dakwah Islam, baik dilakukan oleh pribadi maupun oleh jamaah atau lembaga dengan memasukannya sebagai jihad fisabilillah:
Mufassir Ath-Thabari dalam kitab tafsirnya, menafsirkan fisabilillah dengan mengatakan, “Yang dimaksud fisabilillah adalah pembelanjaan di dalam menolong agama Allah dan ajaran-Nya yang disyariatkan untuk hamba-Nya dengan memerangi musuh-Nya.”

Syeikh Al-Azhar, Syeikh Mahmud Syaltut berkata dalam menafsirkan fisabilillah, “Bahwa yang dimaksud dengan fisabilillah adalah kemaslahatan umum, yang pertama dan yang utama adalah penyusunan kekuatan perang dan penyiapan kekuatan yang matang untuk dakwah Islam dan para da’i yang memperlihatkan keindahan dan toleransi Islam, menggambarkan hikmah dan menyampaikan hukum-hukumnya serta terus menyerang musuh yang mengembalikan makar mereka kepada mereka sendiri. ( Islam Aqidah wa Syar’iyah)

Pengarang tafsir Al-Manar, Syeikh Rasyid Ridha berkata, “Sesungguhnya makna fisabilillah mencakup semua perkara yang disyaratkan yang diniatkan untuk mencari ridha Allah dengan meninggikan kalimat-Nya, mendirikan agamanya, membagusi ibadah dan manfaat ibadahnya.”
Yusuf Al-Qardhawi berkata, “Salah satu yang sesuai dengan makna jihad pada saat ini adalah aktivitas untuk membebaskan bumi Islam dari kekuasaan orang kafir. Setiap peperangan untuk menolong agama Allah, meninggikan kalimat-Nya, mempertahankan bumi Islam, dan menjaga kehormatan Islam adalah masuk ke dalam pos mustahik fisabilillah.”

Ringkasannya: bahwa dakwah ke jalan Allah dengan hikmah dan mau’idhah atau pelajaran yang baik adalah masuk ke dalam cakupan pos mustahik mualaf dan fisabilillah yang dimungkinkan untuk membiayainya dari harta zakat.

Keempat
Lembaga-lembaga Zakat Kontemporer

1. Kebutuhan untuk membangun lembaga zakat.
Kewajiban zakat merupakan beban yang diwajibkan atas setiap muslim yang merdeka, dan salah satu tanggung jawab pemimpin adalah melakukan aktivitas mengumpulkan zakat dan membaginya pada pos-posnya yang syar’i. Di antara dalilnya adalah firman Allah SWT:
“(Yaitu)orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS Al-Hajj [22]: 41)

Rasulullah saw menunjuk sendiri para amil zakat, mengawasi dan mengontrol mereka. Hal seperti itu juga dilakukan oleh para Khulafaur Rasyidin, pengikutnya, dan para pemimpin yang berjalan mengikuti mereka. 

Ketika musuh Islam berhasil menjauhkan umat Islam dari syariat agamanya, yang di antaranya adalah syariat zakat, yang mana mereka mewajibkan pajak dan membiarkan zakat menjadi suatu pilihan bukan kewajiban, para penguasa muslim tidak memaksa pembayarannya, sehingga menjadi kewajiban yang terlupakan. Ketika muncul kebangkitan Islam dengan gerakan dan jamaah serta ulamanya, mereka berkompeten untuk menerapkan kewajiban zakat dan memberinya sifat keharusan. Salah satu dari langkah awal penerapan ini adalah pendirian lembaga-lembaga zakat di banyak negara Islam. Sekarang ini tidak ada satu negara muslim pun yang tidak ada lembaga zakatnya. Bahkan, lembaga-lembaga tersebut menembus negara-negara non-muslim, dimana terdapat kaum muslimin. Lembaga-lembaga tersebut secara nisbi telah berhasil dalam menjalankan risalahnya.

Macam-macam lembaga zakat kontemporer.
Lembaga zakat dari sudut pandang hubungannya dengan negara terbagi menjadi:
Lembaga zakat pemerintah yang termasuk bagian daripadanya, sebagaimana yang ada di Saudi Arabika, Kuwait, Iran, Pakistan, dan Sudah. Artinya lembaga tersebut dianggap sebagai bagian dari sistem keuangan negara.

Lembaga zakat di bawah pembinaan dan pengawasan negara (pembinaan dan pengawasan keuangan dan administrasi) sebagaimana yang ada di Libia, Yaman, Mesir, dan Indonesia.
Lembaga zakat swasta, seperti lembaga dan panitia zakat yang didirikan oleh perusahaan atau lembaga, seperti kas zakat pada bank dan lembaga-lembaga Islam..

Lembaga zakat pribadi atau perseorangan, yang mana sebagian orang mendirikan lembaga zakat.

Lembaga-lembaga di atas menamakan diri mereka dengan nama yang berbeda-beda, misalnya, Bait Al-Zakat, Haiat Al-Zakat, Maslahat Az-Zakat, Darul Zakat, Sunduq Al-Zakat, Lajnah Al-Zakat. Sedangkan, di Indonesia, di antaranya, Lembaga Amil Zakat (LAZ), Badan Amil Zakat (BAZ), Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Dompet Dhuafa.
Dengan usaha yang besar telah didirikan lembaga zakat internasional untuk melakukan aktivitas kerja sama antara semua lembaga zakat di seluruh dunia. Program ini sekarang dilakukan oleh Rabithah Al-‘Alam Al-Islami yang berpusat di Saudi Arabia.

2. Tugas dan tanggung jawab lembaga zakat.
Lembaga zakat, apa pun namanya, memegang tanggung jawab pengumpulan zakat dari para mukalaf dan membaginya ke pos-pos yang berbeda-beda sebagaimana ditetapkan oleh Allah dalam kitab-kitab-Nya. Tugas dan tanggung jawab tersebut menuntut beberapa aktivitas, antara lain:
Menyiapkan daftar para wajib zakat, baik pribadi maupun perusahaan, sehingga menjadi pedoman bagi para amil zakat untuk berkomunikasi dengan mereka dalam rangka menghilangkan dan memperoleh zakat
Membantu individu dan perusahaan dalam menghitung dari mereka. zakat sesuai dengan dasar-dasar fikih dan akuntansi zakat.

Berusaha memperoleh zakat dari para wajib zakat sesuai dengan macam harta dan aktivitas yang tunduk kepada zakat.

Distribusi zakat kepada para mustahik sesuai dengan koridor prioritas Islam dengan mendahulukan yang lebih penting dan mendesak (dharuri), kemudian baru kepada prioritas selanjutnya (hajiyat). Dalam hal ini, lembaga zakat dibantu dengan lembaran atau daftar mustahik.

Melakukan aktivitas penyuluhan untuk mendorong umat Islam agar membayar zakat pada waktunya. Di antara cara dan sarana penyuluhan adalah buku, selebaran, brosur, ceramah, seminar, muktamar, buletin, dan media, baik elektronik maupun media massa.

Menjawab pertanyaan kaum muslimin tentang zakat melalui majelis (departemen; lajnah) fatwa lembaga zakat.

Mengeluarkan fatwa dalam masalah zakat kontemporer yang baru melalui perantaraan para ulama besar atau lembaga tertinggi untuk fatwa zakat.

Menyiapkan rencana, strategi program, neraca anggaran dan ketetapan yang berkaitan dengan zakat berdasarkan skala waktu atau periode tertentu untuk diajukan kepada bagian administrasi lembaga zakat agar diambil ketetapan yang semestinya.

Hal penting yang harus ditegaskan di sini adalah bahwa lembaga zakat harus mempunyai perangkat syar’i, administrasi; akuntansi, dan teknis yang independen dari sistem perpajakan kontemporer, sebagaimana lembaga zakat tersebut harus mempunyai neraca yang independen secara keseluruhan dari neraca umum negara. Sebab, maslahat pajak kontemporer tidak bisa dihitung sebagai pengganti lembaga zakat.
Kelima

Fatwa-fatwa Kontemporer
Tentang Mustahik dan Lembaga-lembaga Zakat
1. Pemberian zakat kepada kerabat.
Masalah:
Apakah boleh memberikan zakat kepada kerabat yang fakir?

Fatwa:
Kerabat yang fakir termasuk mustahik zakat. Mereka harus diprioritaskan, karena termasuk silaturahmi. Namun, tidak boleh membayar zakat kepada orang yang harus diberi nafkah, misalnya, kedua orangtua, anak-anak, istri, dan kakek.

2. Pemindahan zakat
Masalah:
Apakah boleh memindahkan zakat kepada kerabat saya yang miskin di tempat lain?

Fatwa:
Ulama sepakat bahwa zakat dibagi untuk daerah tempat zakat tersebut diperoleh. Kecuali dalam beberapa kondisi berikut:
Pemindahan zakat kepada kerabat muzaki di daerah lain yang miskin. Sebab, hal itu termasuk silaturahmi.

Adanya kaum fakir di daerah lain yang keadaannya lebih buruk daripada para mustahik zakat di daerahnya sendiri.

Muzaki tidak mengetahui kaum fakir miskin di daerahnya dan mengetahui keberadaan mereka di daerah atau negara lain, seperti orang yang hidup di Eropa mengirimkan zakatnya kepada kaum fakir di Yaman dan Bangladesh.

3. Keharusan mencakup seluruh pos-pos penerimaan zakat (mustahik)
Masalah:
Apakah boleh membatasi penyaluran zakat hanya untuk satu pos saja atau satu orang saja dalam membayar zakat?

Fatwa:
Mayoritas ulama berpendapat bahwa disunahkan membagi zakat kepada pos-posnya (seluruh mustahik) dan pada waktu mendesak (dharurat) dibolehkan membatasinya dalam satu pos saja atau terbatas dalam satu orang saja.

4. Persamaan bagian antara masing-masing mustahik zakat.
Masalah:
Apakah harus menyamakan jumlah yang dibagi di dalam pembagian zakat kepada masing-masing mustahik?

Fatwa:
Tidak diharuskan menyamakan jumlah pembagian zakat, namun disesuaikan dengan prioritas Islami sesuai dengan konteks prioritas pertama (dharurat) dan prioritas kedua (hajiyat).

5. Pengakhiran pembayaran zakat
Masalah:
Terkadang datang waktunya pembayaran zakat, namun saya tidak mempunyai uang tunai untuk membayarnya. Apakah boleh mengakhirkan pembayarannya? Apakah boleh berutang untuk membayar zakat?

Fatwa:
Hukum asal waktu membayar zakat adalah bersegera dalam membayarnya, sehingga jika diwajibkan maka ia menjadi hutang dalam tanggungan muzaki. Jika ia meninggal maka didahulukan pembayaran zakat atas hutang-hutangnya yang lain, dan tidak boleh mengakhirkan kecuali karena dharurat yang diperhitungkan secara syar’i.
Selain itu, boleh juga membayar zakat sebelum waktunya, baik dengan mencicil maupun sekaligus. Kemudian, ketika datangnya kewajiban membayar zakat atau pada akhir haul diperhitungkan antara yang telah dibayar dengan yang wajib dibayarkan.
__________________________________________
sumber: "Panduan Zakat Pintar" Karya: H. Hikmat Kurnia dan H.A..Hidayat, L.C. diterbitkan oleh Qultumedia Th. 2008

Tidak ada komentar: