Sabtu, 18 Juni 2011

Sebaiknya istilah manhaj atau mazhab salaf ditiadakan


Demi tegak kembali  Ukhuwah Islamiyah sebaiknya istilah manhaj atau mazhab salaf ditiadakan.

Oleh karena adanya istilah manhaj atau mazhab salaf sehingga mereka merasa pasti benar dan timbullah perdebatan, perselisihan, saling merendahkan, saling mengujat, saling menghina, saling berlepas diri dan memutus silaturrahmi diantara sesama manusia yang telah bersyahadat (muslim).

Mereka melakukan itu semua tanpa menyadari bahwa Allah Azza wa Jalla melihat segala sikap dan perbuatan manusia. Mustahil yang haq akan bercampur dengan yang bathil. Setiap yang memperturutkan hawa nafsu pastilah sedang dalam kesesatan.

…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS Shaad [38]:26 )

Katakanlah: “Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS An’Aam [6]:56 )

Manhaj dalam bahasa Arab sama dengan minhaj, yang bermakna  sebuah jalan yang terang lagi mudah. Manhaj adalah metode atau cara atau jalan membawa kepada kebenaran. Kebenaran adalah yang datang dari Allah Azza wa Jalla

Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu,  Kami berikan aturan dan jalan yang terang.”  (QS Al Maa’idah  [5]:48)

Manhaj  pada hakikatnya sama dengan tharekat namun tharekat maknanya lebih luas yakni  bukan lagi jalan atau metode atau cara pemahaman atau pemikiran namun  jalan yang pernah dilalui atau ditempuh  diri (ruhani dan jasamani) seseorang sehingga sampai kepada Allah Azza wa Jalla. Sampai di sisi Allah Azza wa Jalla sebagaimana 4 golongan manusia yakni para Nabi, para Shiddiqin, para Syuhada dan orang-orang sholeh.


Mazhab adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak.

Mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.

Manhaj / Mazhab / Tharekat disandingkan kepada yang tunggal atau kepada  seseorang yang telah melakukan upaya pemahaman, pemikiran dan menjalaninya.

Sedangkan  Manhaj Salaf atau Mazhab Salaf bukanlah bersifat tunggal atau perorangan.

Juga tidak banyak dari para Salaf (salafush sholeh tentunya) melakukan upaya pemahaman atau pemikiran atau mengutarakan “perjalanan” mereka.  Pada umumnya Salafush sholeh hanyalah meriwayatkan, mereka  bertanya, mendengar dan mentaati/menjalankannya.

Salafush Sholeh atau khususnya Tabi’ut Tabi’in yang upaya pemahaman atau pemikiran yang masih terkenal sampai sekarang ini hanyalah apa yang dilakukan dan disampaikan oleh Imam Mazhab yang empat.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak pernah mengatakan bahwa pemahaman atau pemikiran yang terbaik adalah para Sahabat ra.  Para Sahabat dikatakan terbaik karena mereka mengakui kerasulan Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Mereka bertanya, mendengar dan mentaati / menjalankannya.

Rasulullah  shallallahu alaihi wasallam mengatakan “sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku (generasi sahabat)”  bukanlah mengatakan sebaik-baik pemahaman atau pemikiran. Sahabat dikatakan “sebaik-baik manusia” karena termasuk manusia awal yang “melihat” Rasulullah atau manusia awal yang bersaksi atau bersyahadat.

Ini terkait dengan firman Allah ta’ala yang artinya, “kuntum khayra ummatin ukhrijat lilnnaasi“, “Kamu (umat Rasulullah) adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia” (QS Ali Imran [3]:110 ).

Ibnu Hajar al-Asqalani asy-Syafi’i berkata:
Ash-Shabi (sahabat) ialah orang yang bertemu dengan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, beriman kepada beliau dan meninggal dalam keadaan Islam

Begitu pula dengan Tabi’in (orang yang “melihat”/”bertemu” dengan Sahabat) maupun Tabi’ut Tabi’in (orang yang “melihat”/”bertemu” dengan Tabi’in adalah “sebaik-baik manusia” karena mereka termasuk manusia awal yang bersaksi atau bersyahadat.

Bahkan Allah Azza wa Jalla menjamin untuk masuk surga bagi “sebaik-baik manusia” paling awal atau manusia yang bersaksi/bersyahadat paling awal atau yang membenarkan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam sebagai utusan Allah ta’ala paling awal atau as-sabiqun al-awwalun. Hal ini dinyatakan dalam firmanNya yang artinya,
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”. (QS At Taubah [9]:100 )

Mereka yang termasuk 10 paling awal bersyahadat/bersaksi atau yang termasuk “as-sabiqun al-awwalun” adalah, Abu Bakar Ash Shidiq ra, Umar bin Khattab ra, Ustman bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib ra, Thalhah bin Abdullah ra, Zubeir bin Awwam ra, Sa’ad bin Abi Waqqas ra, Sa’id bin Zaid ra, ‘Abdurrahman bin ‘Auf ra dan Abu ‘Ubaidah bin Jarrah ra .
Jadi yang disebut generasi terbaik atau sebaik-baik manusia adalah bagi seluruh umat Nabi Sayyidina Muhammad Shallallahu alaihi wasallam atau bagi seluruh manusia yang telah bersaksi/bersyahadat atau bagi seluruh umat muslim sampai akhir zaman. Tidak ada hubungannya antara “generasi terbaik” dengan mazhab atau manhaj salaf dan tidak ada pernah Rasulullah mewajibkan umat muslim untuk bermazhab atau bermanhaj Salaf. Ulama yang mewajibkan bermanhaj salaf adalah mereka yang mebuat perkara baru (muhdats) dalam agama. Hal ini telah kami uraikan kutip perkataan ulama terdahulu dikalangan negeri kita yakni KH Siradjuddin Abbas dalam bukunya, “40 Masalah Agama”, buku kempat yang mulai dicetak pada tahun 1976.

****awal kutipan****
Madzhab Salaf pada hakikatnya tidak ada
Kalau dibalik lembaran sejarah Islam dari zaman Nabi sampai zaman Sahabat, sampai zaman Tabi’in dan zaman Tabi’ Tabi’in, tegasnya sampai tahun 300 hijriyah, tidak dijumpai adanya suatu madzhab yang bernama “Madzhab Salaf”

Juga kalau dibalik Al-Quran yang 30 Juz dan Hadits-hadits Nabi yang tertulis dalam kitab-kitab Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Daud, Nisai, Ibnu Majah, Muwatha’, Musnad Ahmad bin Hanbal dll, tidak pernah dijumpai tentang adanya satu madzhab dalam Islam yang bernama Madzhab Salaf.
Bahkan batas waktu yang tegas antara yang dinamai zaman Salaf dan zaman Khalaf tidak ada keterangan, baik dalam Al-Qur’an maupun dalam Hadits. Apakah yang dinamakan zaman Salaf itu 100 tahun, 200 tahun, 300 tahun, 400 tahun atau 500 tahun sesudah Nabi ? tidak ada keterangannya yang pasti.

Yang ada terlukis dalam sejarah hanyalah Madzhab Hanafi yang dibangun oleh Imam Abu Hanifah di Kufah (lahir 90H – wafat 150H), Madzhab Maliki yang dibangun oleh Imam Malik bin Anas di Madinah (lahir 93H – wafat 179H), Madzhab Syafi’i yang dibangun oleh Imam Muhammad bin Idris as Syafi’I di Bagdad dan di Mesir (lahir 150H – wafat 204H) dan Madzhab Hambali yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hanbal di Bagdad (lahir 164H – wafat 241H).

Semuanya itu adalah Madzhab dalam furu’ syariat, dalam fiqih.
Disamping itu ada Madzhab-madzhab pada zaman Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in yang tidak panjang usianya dan sekarang tidak terkenal lagi seperti Madzhab Auza’i di Syam, Madzhab Leits di Mesir, Madzhab Tsuri di Iraq, Madzhab Daud Zhahiri di Andalus, Madzhab Zaidiyah di Yaman dan lain-lain, tetapi dapat dipastikan bahwa Madzhab Salaf tidak ada.

Sebagai dimaklumi, bahwa arti “Salaf” ialah “orang yang terdahulu”. Orang yang terdahulu itu ada yang baik dan ada yang buruk. Pada zaman Nabi, bukan saja yang ada itu orang Islam, tetapi ada juga orang Yahudi, Nashara, Munafiq dan pada zaman Sahabat selain orang Islam sejati ada juga orang yang sesat seperti kaum Mu’tazilah, Khawarij, Syi’ah, Qadariyah, Jabariyah dan pada zaman Tabi’in muncul macam-macam manusia disamping orang-orang yang saleh-saleh.
Pendeknya, di zaman dulu itu ada orang yang saleh dan ada pula orang yang taleh (bahasa minang untuk “tidak saleh” atau “tidak berpendirian”).

Kalau kita dianjurkan mengikuti Madzhab Salaf, dengan arti Madzhab orang yang terdahulu, maka itu berarti kita dianjurkan bukan saja mengikuti orang-orang yang baik-baik tetapi juga mengikuti orang yang jelek-jelek.

**** akhir kutipan ****
Pendapat kami, mazhab atau manhaj salaf adalah perkara baru (muhdats). Tidak ada satu ulama pun, terutama sebelum ulama Ibnu Taimiyah, yang menisbatkan dirinya pada Salaf.

Firman Allah SWT:
waman yusyaaqiqi alrrasuula min ba’di maa tabayyana lahu alhudaa wayattabi’ ghayra sabiili almu’miniina nuwallihi maa tawallaa wanushlihi jahannama wasaa-at mashiiraan
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS An Nisaa [4]:115 )

Asbabun Nuzul:
Qatadah bi nu’man berkata: kedua ayat ini diturunkan sebagai teguran Allah kepada orang-orang yang menggabungkan diri dengan musuh kaum muslimin setelah datang ajaran yang benar secara nyata dan jelas, yaitu ajaran Allah dan RasulNya” (HR Tirmidzi dan Hakim)
Ayat di atas “dipergunakan” oleh ulama mereka untuk membenarkan adanya manhaj atau mazhab Salaf.

Ulama mereka berpendapat bahwa (QS An Nisaa [4]:115) adalah dalil yang paling tegas dan terang tentang kewajiban yang besar bagi kita untuk mengikuti ”jalannya orang-orang mu’min” yaitu para sahabat.


Mereka berpendapat seperti itu berdasarkan pendapat ulama Ibnu Taimiyah di muqaddimah kitabnya “Naqdlul Mantiq” telah menafsirkan ayat ”jalannya orang-orang mu’min” (bahwa) mereka adalah para Sahabat. Maksudnya bahwa Allah telah menegaskan barangsiapa yang memusuhi atau menentang Rasul dan mengikuti selain jalannya para sahabat sesudah nyata baginya kebenaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah dan didakwahkan dan diamalkan oleh Rasulullah bersama para sahabatnya, maka Allah akan menyesatkannya kemana dia tersesat (yakni dia terombang-ambing dalam kesesatan).

Memang benar orang-orang mu’min ketika itu adalah para Sahabat namun kata ‘mukminin’ atau golongan orang-orang beriman dalam ayat di atas, mencakup seluruh orang-orang beriman dari jaman para sahabat sampai hari kiamat nanti, selama mengikuti jalan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.

Orang yang menentang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam ayat diatas adalah orang-orang kafir, orang-orang yang tetap “berpaling” setelah kedatangan Rasulullah. Mereka adalah orang yang “mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min” atau orang yang mengikuti jalan yang sesat. Mereka tersesat karena menyekutukan Tuhan, hal ini dapat kita pahami pada ayat berikutnya,
inna allaaha laa yaghfiru an yusyraka bihi wayaghfiru maa duuna dzaalika liman yasyaau waman yusyrik biallaahi faqad dhalla dhalaalan ba’iidaan
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS An Nisaa’ [4]:116)

Jadi (QS An Nisaa [4]:115 ) tidak ada hubungannya dengan manhaj atau mazhab Salaf.
Mereka “menggunakan” ayat-ayat dan hadis yang diperuntukkan bagi orang-orang kafir, dan mereka maknai sesuai keinginan (hawa nafsu) mereka untuk dihantamkan kepada para kaum muslim yang tidak sepaham dengan pemahaman mereka.

Mereka katakan kaum muslim yang tidak sepamahaman dengan mereka adalah telah menentang Rasulullah dan kemudian mereka mencari-cari nash-nash Al-Qur’an yang artinya “menentang Rasulullah” dan mereka temukan dalam (QS An Nisaa [4]:115 ). Padahal telah jelas bahwa yang dimaksud orang yang menentang Rasulullah adalah orang-orang kafir yang menolak bersaksi / bersyahadat atau mereka yang menolak menjadi muslim atau mereka yang memusuhi kaum muslim yang telah bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, sebagaimana asbabun nuzul yang telah disampaikan di atas.

Ulama Ibnu Taimiyah berpendapat atau bahkan berfatwa bahwa,
Tidak ada aib atas orang-orang yang menonjolkan manhaj salaf, menisbatakan dan menasabkan padanya, bahkan wajib menerimayang demikian itu dengan kesepakatan (para ulama), karena sesungguhnya tidak ada pada manhaj salaf kecuali kebenaran (Majmu’ Fatawa 4/129).
Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan madzab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena mazhab salaf itu pasti benar” [Majmu Fatawa 4/149]

Ulama Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa “manhaj salaf” atau “mazhab salaf” adalah pasti kebenaran.

Kebenaran hanyalah yang datang dari Allah Azza wa Jalla dan disampaikan melalui perkataan Nabi kita, Sayyidina Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.

yaa ayyuhaa alnnaasu qad jaa-akumu alrrasuulu bialhaqqi min rabbikum
Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu” (QS An Nisaa’ [4]:140 )

wamaa yanthiqu ‘ani alhawaa
dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quraan) menurut kemauan hawa nafsunya” (QS AN Najm [53]:3 )
in huwa illaa wahyun yuuhaa
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS AN Najm [53]:4)

Jika manhaj atau mazhab salaf itu adalah kebenaran pastilah sudah dikatakan/disampaikan oleh para Salafush Sholeh yang mengambil/mengikuti dari perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Kenyataannya perkataan/pendapat tentang “mazhab salaf” maupun “manhaj salaf” hanya perkataan ulama diantara lain adalah ulama Ibnu Taimiyah

Kesimpulannya istilah  manhaj salaf atau mazhab salaf adalah istilah yang  menyesatkan.

Ulama mereka mengatakan apa yang mereka sampaikan adalah pemahaman Salafush Sholeh padahal kenyataannya adalah  pemahaman mereka sendiri terhadap (lafadz/nash) Al-Quran dan (lafadz/nash)  Hadits atau pemahaman mereka sendiri terhadap kitab atau  tulisan  ulama salaf.

Kita pahami bahwa setiap pemahaman, penafsiran, pemikiran bisa benar dan bisa pula salah karena yang pasti benar hanyalah (lafadz/nash) Al Qur'an dan (lafadz/nash) Hadits.

Dengan adanya istilah manhaj salaf atau mazhab salaf mengakibatkan banyak kaum muslim terkelabui seolah-olah apa yang disampaikan ulama mereka  adalah pasti benar sehingga mereka lupa merujuk atau memeriksa kepada sumbernya yakni Al-Qur'an dan Hadits

Istilah manhaj salaf atau mazhab salaf yang  menyesatkan ini ditimbulkan oleh karena ulama Muhammad bin Abdul Wahhab mengangkat kembali  pemahaman ulama Ibnu Taimiyah yang sebenarnya telah ditolak oleh jumhur ulama pada masanya dan telah terkubur lama.

Ulama Muhammad bin Abdul Wahhab berkolaborasi dengan penguasa Muhammad bin Saud mendirikan kerajaan Arab Saudi  dan adanya “pertemanan” atau “kesepakatan” dengan  kolonialis  Inggris yang pada hakikatnya di belakangnya adalah zionis Yahudi.

Kenyataanyalah bahwa umat muslim pada saat ini “disibukkan” dengan diskusi, perdebatan pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Hadits sehingga melupakan persaudaraan sesama muslim dan mengabaikan Ukhuwah Islamiyah sehingga tidak mengurus yang seharusnya diurus seperti banyak terbunuhnya saudara-saudara muslim kita di Palestina, Irak, Afghanistan dan belahan dunia lainnya oleh Amerika yang dibaliknya adalah Zionis Yahudi.

Marilah kita kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Jika kita tidak mampu merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah secara langsung maka kita membutuhkan pemahaman mereka yang mengetahuinya. Ketidakmampuan bisa disebabkan oleh karena kompetensi/keahlian, waktu, dana dan sebab-sebab yang lain.

Firman Allah yang artinya, “Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3).

Mereka yang mampu memahami ilmuNya diantaranya adalah para Imam Mazhab yang diteruskan oleh para pengikutnya.

Imam Asy Syafi’I mengatakan tiada ilmu tanpa sanad.

Berkata pula Imam Sufyan Ats-Tsauri : “Sanad adalah senjata orang mukmin, maka bila kau tak punya senjata maka dengan apa kau akan berperang?”

Berkata pula Imam Ibnul Mubarak : “Pelajar ilmu yang tak punya sanad bagaikan penaik atap namun tak punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan ummat ini dengan sanad” (Faidhul Qadir juz 1 hal 433).

Kebenaran disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena Beliau hanya menyampaikan apa yang diwahyukanNya

Oleh karenanya kita lebih baik mengikuti ulama yang hanya menyampaikan apa yang disampaikan oleh Rasulullah melalui lisan ke lisan guru/ulama sebelumnya. Inilah yang dinamakan sanad guru atau sanad ilmu.


Wassalam


Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

Tidak ada komentar: