Selasa, 03 Mei 2011

Penetapan “di mana” tidak diperkenankan untuk Allah Azza wa Jalla.


Penetapan “di mana” tidak diperkenankan untuk Allah Azza wa Jalla.

Salah satu kesalahpahaman dalam bidang i’tiqad / akidah pada suatu kaum muslim yang mengakibatkan perdebatan berkepanjangan adalah berkeyakinan “di mana” terhadap Allah Azza wa Jalla.

Mereka berpegangan dengan sebuah HR Muslim, di mana hadits tersebut tidak kita temukan pada bab tentang Iman.

Hadits selengkapnya silahkan temukan pada,
http://www.indoquran.com/index.php?surano=6&ayatno=29&action=display&option=com_muslim

Bagi pendapat kami, hal yang utama dalam hadits tersebut adalah perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa “Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur’an.”. Hadits itupun dapat kita temukan dalam bab tentang sholat. Entah kenapa kaum yang mengaku berpemahaman sebagaimana Salafush sholeh menjadikannya sebagai landasan i’tiqad / akidah.

Sebagaian ulama berpendapat bahwa pertanyaan "Di mana" sekedar untuk mengetahui apakah budak tersebut adalah penyembah berhala (sesuatu di bumi atau buatan manusia) sebagaimana kebiasaan sebagian orang Arab pada waktu itu. Tidak bisa dijadikan landasan keimanan /akidah karena ada juga yang menyembah matahari, bulan, atau bintang yang merupakan tuhan di langit juga.

Sedangkan sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa hadits tersebut syadz untuk dijadikan landasan menyangkut masalah akidah karena tidak dapat dikatakan “di mana” atau bagaimana bagi Allah Azza wa Jalla.

Ibnu Hajar al Asqallâni dalam Fathu al Bâri-nya,1/221:
“Karena sesungguhnya jangkauan akal terhadap rahasia-rahasia ketuhanan itu terlampau pendek untuk menggapainya, maka tidak boleh dialamatkan kepada ketetapan-Nya: Mengapa dan bagaimana begini? Sebagaimana tidak boleh juga mengalamatkan kepada keberadaan Dzat-nya: Di mana?.

Imam al Qusyairi menyampaikan, ” Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerih payah, dan kreasi-kreasi yang mampu menggambari-Nya, atau menolak dengan perbuatan-Nya atau kekurangan dan aib. Karena, tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan apa pun tidak ada yang mengalahkan-Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan Kuasa“.

Tinjauan lebih lanjut tentang hadits tersebut selengkapnya silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/12/hadits-jariyah/

Berikut adalah perbincangan kami dengan KH Thobary Syadzily mengenai pendapat beliau tentang ‘di mana’ bagi Allah Azza wa Jalla

*****awal pendapat KH Thobary Syadzily *****
Dalam ilmu tauhid, Allah swt maha dibersihkan dari enam kam, yaitu:
1. Kam Muttasil fidz-Dzat
2. Kam Muttasil fish-Shifat
3. Kam Muttasil fil-Af’al
4. Kam Munfasil -fidz-dzat
5. Kam Munfashil fish-Shifat
6. Kam Munfasil fil-Af’al.
Sebaliknya keenam kam tsb hanya ada pada makhluk karena:
الله الذى ينزه عن سمات الحدوث و الألوان و الكيفيات
Artinya: Allah Maha dibersihkan dari ciri-ciri makhluk, warna, dan segala bentuk kaifiyat (pertingkah-pertingkah makhluk).
Kaifiyat di sini kalau dalam ilmu filsafat dinamakan: 10 Dasar Pertanyaan Filsafat, di mana, ke mana, bagaimana dsb. Oleh karena itu dalam kehidupan ini perlu sekali mempelajari ilmu tauhid, karena ilmu tauhid itu peranannya sangat sentral, sehingga kita dalam menjalani hidup ini dapat terpimpin dengan baik.
Dalam kaitannya dengan orang-orang yang faham terhadap ilmu tauhid, masalah-masalah yang dianggap bid’ah, syirik dan sesat (seperti ziarah kubur, tabarruk, tawassul dsb) oleh kelompok2 kaum puritan, itu merupakan tuduhan yang tidak pas dan bisa juga itu merupakan bid’ah yang sebenarnya.
Orang yang menuduh syirik, sesat dan bid’ah terhadap orang yang faham dalam masalah ilmu tauhid, sebenarnya orang itu telah melakukan bid’ah yang sebenar-benarnya bid’ah.
Untuk mengetahui ilmu tauhid yang bersih dari faham-faham yang bengkok, silahkan anda pelajari kitab-kitab, seperti: Tijan ad-Daruri karya Syeikh Nawawi Al-Bantani, Fathul Majid karya Syeikh Nawawi Al-Bantani, Jauharatut Tauhid karya Syeikh Ibrahim Baijuri, Kifayatul ‘Awam, Sanusiyah, Hudhudi, Ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin dsb “
****akhir pendapat****

Memang Al-Qur’an diturunkan “dengan bahasa Arab yang jelas” (QS Asy Syu’ara [26]:195) namun dapat dipahami oleh kaum yang mengetahuinya. firman Allah ta’ala yang artinya, “Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fushshilat [41]:3 ).

Jika kita belum dapat merujuk secara langsung dengan Al-Qur’an dan Hadits maka kita disarankan untuk bertanya dengan mereka yang mengetahui sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya, “maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS An Nahl [16]:43). Jika ingin bertanya tentang tauhid lebih lanjut silahakan hubungi beliau melalui facebook di http://www.facebook.com/profile.php?id=100001039095629

Pernyataan Allah berada/bertempat di langit atau di atas `arsy adalah konsekuensi dari pertanyaan “dimana?” dan “bagaimana?”, meskipun tidak menyebutkan secara jelas pertanyaan tersebut!
Meskipun pernyataan Allah berada di langit atau di atas `arsy dikunci dengan pernyataan “jangan fikirkan bagaimana Allah berada di langit atau di atas `arsy”, ini tidak menafikan mereka menisbahkan sifat makhluq kepada Al Khaliq, yaitu keduanya sama-sama berada pada suatu tempat!

Ketika anda menyatakan bahwa Allah berada di atas `arsy atau di atas langit itu artinya anda sudah duluan menentukan kaifiyah terhadap Allah dengan menetapkan langit atau `arsy sebagai tempat Allah berada. Ketika ini disampaikan kepada orang lain maka anda sudah membuat orang berfikir.

Ketika anda sudah dahuluan memikirkan zat Allah dan membuat orang berfikir kemudian anda melarang orang memikirkan tentang kaifiah zat Allah! Justru pemikiran anda yang seperti ini sangat sulit dipahami oleh orang lain, karena kontradiktif secara akal! Dikesempatan yang lain  KH Thobary Syadzily menyampaikan , “Mereka yang mengatakan dan meyakinkan bahwa Allah itu bersemayam di atas ‘arasy meskipun bersemayamnya sesuai dengan keagunga-Nya, itu merupakan pandangan yang tidak dilandasi dengan ilmu tauhid yang kuat seperti yang diterangkan dalam kitab2 ilmu tauhid: Tijan ad-Daruri, As-Sanusiyah, Kifayatul ‘Awam, Fathul Majid (karya Syeikh Nawawi al-Bantani), Jauharatut Tauhid, Hudhudi, Ad-Dasuqi ‘Syarhi Ummil Barahin, dan lain-lain”.

Kami sepakat bahwa pada zaman modern ini kita sebaiknya mensosialisasikan buku/tulisan karya ulama sholeh nenek moyang (ulama sholeh terdahulu) dari kalangan kita sendiri yang masih terjaga ke-asli-an di tengah adanya kemungkinan perubahan yang jahil terhadap buku-buku peninggalan para ulama dahulu sebagaimana yang dicontohkan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/03/11/al-ibanah/

Hal seperti itu juga disampaikan oleh Syeikh Al Azhar Dr. Ahmad At Thayyib dalam “Forum Alumni Al Azhar VI” bahwa adanya upaya negatif terhadap buku para ulama, “Demikian juga adanya permainan terhadap buku-buku peninggalan para ulama, dan mencetaknya dengan ada yang dihilangkan atau dengan ditambah, yang merusak isi dan menghilangkan tujuannya.” Selengkapnya silahkan baca pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/27/ikhtilaf-dalam-persatuan/

Wassalam

Tidak ada komentar: