Minggu, 24 April 2011

XII. Kaidah Kalimat Umum Dengan Sebab Khusus

Dikalangan umat Islam berkembang klaim universalitas dan supremasi Islam yang berlaku melampaui dimensi ruang dan waktu, dengan Al-Qur’an sebagai sumber pedoman. Al-Qur’an tidak turun dalam satu masyarakat yang hampa budaya. Dari sekian banyak ayat-ayatnya, para ulama menyatakan harus dipahami dalam konteks asbabun nuzulnya, karena ayat tersebut berinteraksi dengan kenyataan yang ada dan kenyataan tersebut mendahului atau paling tidak bersamaan dengan turunnya ayat.

Dalam kaitannya dengan asbabun nuzul, sebagian besar ulama berpegang pada kaidah “al ‘ibrahu bi ‘umumil lafzh la bikhususin asbab” (yang menjadi pegangan adalah keumuman lafazh bukan pada kekhususan sebab), sedangkan sebagian kecil berpegang pada kaidah kebalikannya, yaitu al ‘ibratu bikhususus sabab la bi ‘umumil lafzh: (yang menjadi pegangan adalah kekhususan sebab bukan pada keumuman lafazh).

Apabila dijumpai ayat-ayat Al-Qur’an berkaitan dengan suatu hukum, yang konteks pembicaraannya bersifat khusus terhadap kasus tertentu, sedangkan teksnya bersifat umum, maka ketentuan itu tidak hanya terbatas pada kasus tersebut, tetapi berlaku umum pada setiap kasus yang mempunyai persamaan dengan kasus khusus tersebut. Inilah maksud kaidah “yang menjadi pegangan adalah keumuman lafazh bukan pada kekhususan sebab”.

Dalam memahami kaidah diatas, pendukung kaidah ini berpandangan bahwa asbabun nuzul pada hakikatnya hanyalah salah satu sarana bantu yang menampilkan contoh untuk menjelaskan makna redaksi ayat Al-Qur’an. Sedangkan redaksi yang bersifat umum itu ruang lingkupnya tidak terbatas pada kasus khusus yang melatarbelakangi turunnya ayat.
Pemahaman semacam ini didasarkan atas kenyataan bahwa Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi setiap generasi, sejak masa turunnya sampai dengan hari kiamat, dalam setiap tempat dan situasi.

Pendapat kaidah ini dipandang rajih (lebih kuat) dan lebih tepat, sesuai dengan umumnya hukum-hukumsyariat dan telah diberlakukan oleh para sahabat dan imam mujtahid. Demikian pendapat Ibnu Taimiyah.

Contoh penerapan kaidah tersebut dalam memahami ayat yang memiliki asbabun nuzul tertentu, dalam hal ini QS An-nur [24] : 6, adalah sebagai berikut :

“Dan orang-orang yang melemparkan tuduhan kepada istri-istri mereka, sedang mereka tak punya saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian orang itu empat kali sumpah (dengan sekali bersumpah) demi Allah, bahwa sungguh dia berkata benar.”

Ayat ini turun berkaitan dengan tuduhan yang dilemparkan Hilal Ibnu Umayyah kepada istrinya, akan tetapi sebagai mana terlihat, bunyi ayat ini bersifat umum. Menurut penganut kaidah “keumuman lafazh bukan ke khususan sebab” dengan demikian ketentuan hukumnya tidak hanya berlaku bagi Hilal saja, tetapi juga berlaku bagi semua orang yang menuduh istrinya berbuat zina tanpa saksi.

Adapun penganut kaidah “kekhususan sebab bukan keumuman lafazh” lebih menekankan perlunya analogi (qiyas) untuk menarik makna dari ayat-ayat yang memiliki latar belakang turunnya ayat (asbabun nuzul)itu, jika qiyas tersebut memenuhi syarat-syaratnya.

Allah berfirman dalam QS Al-Maidah [5] : 38-39 :

“Adapun mengenai pencuri, laki-laki dan perempuan, potonglah tangannya sebagai hukuman atas perbuatannya, sebagai pelajaran dari Allah. Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Tetapi barang siapa bertobat setelah berbuat jahat dan memperbaiki diri, maka Allah akan menerima tobatnya, Allah Maha Pengampun, Maha Pengasih.”

Asbabun nuzul turunnya ayat tersebut, menurut riwayat Ahmad dan lain-lain yang bersumber dari Abdullah bin Umar, bahwa seorang wanita mencuri di zaman Rasulullah, kemudian dipotong tangannya yang kanan. Wanita tersebut bertanya, “Apakah diterima tobatku, ya Rasulullah ?” Maka Allah menurunkan ayat berikutnya QS [5] : 39 yang menegaskan bahwa tobat seseorang akan diterima Allah apabila ia memperbaiki diri dan berbuat baik.

Bila saklek berpegang pada kaidah “keumuman lafazh bukan pada ke khususan sebab”maka akan ada kecenderungan memahami ayat tersebut secara tekstual, bahwa ketetapan hukum potong tangan bagi seorang pencuri itu berlaku umum disegala situasi dan tempat, dengan mengabaikan konteks situasi sosial yang menjadi latar belakang turunnya ayat tersebut, sehingga relevansi ketetapan hukum kurang mendapat perhatian. Padahal perubahan waktu dan situasi yang meliputi meniscayakan perubahan hukum. Ketika ayat tersebut tidak diterapkan dalam suatu masyarakat, seperti ijtihad Umar bin Khattab pada masanya, tidak memotong tangan pencuri dimasa paceklik, apakah lantas dipahami bahwa Umar bin Khattab telah meninggalkan ayat tersebut, atau ayat disesuaikan dengan situasi kondisi ?

Cara pandang ekstrim demikian akan muncul bila asbabun nuzul dipahami sebatas peristiwa dan pelakunya. Apabila ia dipahami secara komprehenship, meliputi waktu, tempat, situasi dan kondisi sosial-budaya yang melatarbelakangi turunnya ayat, kemudian dicoba dicari tujuan-tujuan syariah dan mashlahah mursalah yang menjadi ruh ayat tersebut, maka akan dapat melahirkan perkembangan dalam penafsiran yang lebih tepat.

___________________

Tidak ada komentar: