Minggu, 24 April 2011

IX. Ushul Tafsir

Ushul tafsir adalah cabang dari ilmu ulumul Qur’an yang membahas ilmu-ilmu dan kaidah-kaidah yang diperlukan dan harus diketahui untuk menafsirkan Al-Qur’an. Ushul tafsir ini adalah bagian dari ulumul qur’an yang paling penting karena sangat erat kaitannya dengan istinbath (penyimpulan hukum) dalam fikih dan penetapan i’tikad (tauhid, akidah) yang benar.

Ibnu Taimiyyah dalam Muqaddimah fi Ushulit Tafsir menyatakan : “Jika ada orang bertanya : ‘Apakah jalan yang terbaik untuk menafsirkan Al-Qur’an, maka jawabnya : ‘Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Apabila ebgkau tidak mendapatkan penafsirannya pada Al-Qur’an, maka tafsirkanlah dengan sunnah (hadits), karena sesungguhnya ia memberi penjelasan terhadap Al-Qur’an. Apabila tidak engkau temukan tafsirnya dalam Al-Qur’an dan tidak pula dalam sunnah, maka merujuklah kepada perkataan-perkataan sahabat Nabi SAW, karena mereka paling mengetahui sesudah Nabi, mengingat mereka menyaksikan (sebagian) turunnya Al-Qur’an dan situasi ketika ayat itu turun serta mereka memiliki pemahaman yang benar dari Nabi. Apabila tidak ditemukan penafsiran dalam Al-Qur’an dan sunnah serta tidak ada pula penafsiran sahabat, maka dalam hal ini para imam merujukperkataan tabi’in…”

A. Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Metode ini berdasarkan contoh dari Rasulullah. Ketika para sahabat membaca firman Allah :

“Mereka yang beriman dan tidak mencampur adukkan keimanannya dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat kemananan dan mereka mendapat petunjuk” (QS [6] : 82}.

Para sahabat bertanya kepada Rasulullah : “Wahai Rasulullah, siapakah diantara kita orang yang tidak menzalimi dirinya sendiri ?” Nabi menjawab : 
“Tidak seperti yang kalian sangka, kezaliman yang dimaksud adalah syirik. Tidakkah enkau membaca ucapan hamba yang saleh (Luqman) : “Sesungguhnya kemusyrikan adalah kezaliman yang sangat besar”. (QS Luqman [31] : 13).

Firman Allah dalam QS Al-Fatihah [1] : 6 :

“Tunjukilah kami jalan yang lurus, jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat”

Siapakah yang dimaksud orang-orang yang diberi nikmat ? maka tafsirnya ada pada ayat Al-Qur’an yang lain, yaitu QS An-Nisa’ [4] : 69 :

“Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu : Nabi-Nabi, para Shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”.

B. Tafsir Al-Qur’an dengan sunnah (hadits)
Peran (hadits) Rasulullah terhadap Al-Qur’an :
1. Menjelaskan bagian yang masih global (mujmal).
2. Mengkhususkan (men-takhsis) yang masih umum (‘amm).
3. Menjelaskan arti dan kaitan kata-kata tertentu.
4. Memberikan ketentuan tambahan dari aturan yang telah ada dalam Al-Qur’an.
5. Menjelaskan nasakh (menghapus) ayat.
6. Menegaskan hukum-hukum yang telah ada.
Firman Allah dalam QS Al-Baqarah [2] : 43 :

“…dan dirikanlah shalat…”

Perintah mendirikan sholat tersebut masih kalimat global (mujmal) yang masih butuh penjelasan bagaimana tata cara sholat yang dimaksud, maka untuk menjelaskannya Rasulullah naik keatas bukit kemudian melakukan sholat hingga sempurna, lalu bersabda : “Sholatlah kalian, sebagaimana kalian telah melihat aku shalat” (HR Bukhary).

C. Tafsir Al-Qur’an dengan perkataan sahabat Nabi (Qaul Sahabi).
Sahabat nabi adalah generasi terbaik yang beriman dan diridloi Allah, bertemu langsung dengan Nabi dan ikut menyaksikan peristiwa yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat dan keterkaitan turunnya dengan ayat yang lain. Mereka mempunyai kedalaman pengetahuan dari segi bahasa, saat bahasa itu digunakan, kejernihan pemahaman, kebenaran manhaj, kuatnya keyakinan, apalagi jika mereka telah melakukan Ijma dalam suatu penafsiran.

Firman Allah dalam QS An-Nur [24] : 31 :

“Hendaklah mereka tidak menampakkan kecantikannya, kecuali apa yang boleh tampak darinya”

Ibnu Abbas menafsirkan yang boleh tampak itu adalah : “wajahnya, kedua telapak tangan dan cincin”

D. Tafsir Al-Qur’an dengan perkataan tabi’in.
Tabi’in bertemu langsung dengan para sahabat Nabi dan mengambil ilmu dari mereka.

Di Mekkah berdiri perguruan Ibnu Abbas, diantara para tabi’in yang menjadi muridnya adalah : Sa’id bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibnu Abbas, Tawus bin Kaisan Al-Yamani dan ‘Ata bin Abi Rabah.

Di Madinah Ubay bin Ka’ab lebih menonjol dibidang tafsir dari sahabat Nabi yang lain, diantara muridnya dikalangan tabi’in adalah : Zaid bin Aslam, Abu ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazi.

Di Kufah (Iraq) berdiri perguruan Ibnu Mas’ud, yang dipandang oleh para ulama sebagai cikal bakal mazhab ahli ra’y (akal). Tabi’in yang menjadi muridnya antara lain : ‘Alqamah bin Qais, Masruq, Al-Aswad bin Yazid, Murrah Al-Hamazani, ‘Amir Asy-Sya’bi, Hasan al-Basri dan Qatadah bin Di’amah as-Sadusi.

Sufyan Tsauri berkata : “Jika datang padamu tafsir dari Mujahid, cukuplah itu bagimu”.

Berkata Ibnu Taimiyah : “Syafi’i, Bukhari dan ahli ilmu lainnya banyak berpegang kepada tafsirnya”.

Az-Sahabi berkata : “Umat sepakat bahwa Mujahid adalah tokoh terkemuka yang kata-katanya dijadikan hujjah, dan kepadanya Abdullah bin Kasir belajar”.

Diantara tokoh-tokoh tabi’in Mujahid merupakan yang paling menonjol dan perkataannya banyak diikuti mufasirin sesudahnya. Tentunya harus diseleksi sanad-sanad atsar yang disandarkan kepada mereka, bila sahih maka layak untuk diikuti.

E. Israiliyyat.
Setelah beberapa ulama Yahudi masuk Islam, seperti : Abdullah bin Salam, Ka’bul Ahbar, Wahb bin Munabbih, Abdul Malik bin Abdul ‘Azis bin Juraij; khabar dan kisah dari kitab-kitab Bani Israil mulai menyebar di kalangan kamu muslimin. Sebagian mufasirin mengutip Israiliyyat ini kedalam kitab tafsir mereka.

Israiliyyat ini dibagi menjadi tiga :
1. Yang sesuai dengan syariat Islam, maka bisa diterima.
2. Yang bertentangan dengan syariat Islam, maka harus ditolak.
3. Yang didiamkan, tidak diterima dan tidak ditolak, sebatas dijadikan wacana.

______________________

Tidak ada komentar: